Sabtu, 03 Mei 2014

Hakikat Seorang Guru

Hari ini perpisahan kelas XII dan hatiku sangat sedih, bukan karena sedihnya perpisahan dengan murid-muridku karena memang tidak terlihat ada yang benar-benar melihatku selaku guru yang berjasa besar pada mereka sehingga perpisahan benar-benar layak disedihkan, dan puncak pembuktiannya kala hari perpisahahan ini. Di dalam buku tahunan alumni bahkan ada yang sampai berani menulis kata-kata dan pesan-pesan selama studi "guru-guru yang sudah tua dipensiunkan aja!", la hawlawla quwwata illa billa,..  Tiba-tiba kusadari  di hari ini hakikat seorang guru, yaitu ketika hati seorang guru terluka tidak dihargai oleh muridnya, maka semakin terdoronglah hatinya untuk merenungi hakikat profesinya ini. Hatiku juga sedih dan mempertanyakan hakikat dari dunia pendidikan modern yang makin hari terasa hampa dan miskin makna dan penuh kepura-puraan.

Dokumen semakin banyak yang harus disiapkan sebagai suatu kelengkapan guru profesional, namun profesionalisme yang semakin disiplin dan ketat membuat proses yang dijalani dan sangat menekan ini seolah tidak ada lagi "ruh",...seolah pendidikan ini semakin "mekanis" dan semakin mirip "proyek-proyek" untuk menggelontorkan dana dan menciptakan berbagai peluang menambah pundi-pundi duniawi, semakin mirip sebuah supermarket di mana ada berlangsung transaksi tanpa "jiwa" dan "keakraban" antara sang penjual dan pembeli, sang manajer dan pemilik modal pun tidak terlihat juntrungannya selain orang-orang yang antri membayar di hadapan sebuah mesin hitung tak berperasaan. 

 Di awal tahun ajaran baru anak-anak ini mulai belajar, maka dalam proses pembelajaran mereka akan dididik dengan berbagai idealisme soal kejujuran, soal pentingnya meraih prestasi, soal nasionalisme dan kebesaran bangsa ini, soal kedisiplinan dan pentingnya berkompetisi bahwa siapa yang sungguh-sungguh belajar akan sukses dan diperhatikan. dan berbagai soal lainnya yang layak dicatat dalam kaligrafi indah tinta emas. Namun kenyataan akan segera mereka pelajari tidak seindah yang terdengar.

Tentu bukan rahasia lagi jika dalam proses tersebut sang siswa akan "didewasakan" dengan sebuah kenyataan, bahwa semua yang kamu pelajari itu nak, jangan ditelan mentah-mentah, janganlah terlalu "polos dan lugu",..di ujung proses mereka akan belajar realitas yang menyakitkan, misalkan mereka akan belajar, bahwa dalam menghadapi ujian nasional ini mereka jangan melulu hanya belajar saja, mereka juga harus cari informasi ke Bimbe-Bimbel yang selama ini telah melakukan promosi bertubi-tubi, bahkan kalau perlu mereka harus membayar untuk mendapatkan sepaket kunci jawaban dari pada soal ujian nasional yang digembar gemborkan bersih dan berwibawa, baik dengan diusahakan sendiri-sendiri atau berkelompok. Bukan rahasia lagi antara siswa dan guru banyak yang mengetahui dan saling mengetahui kecurangan ini,..proses ini ibarat orang yang telah susah payah memintal benang, namun ketika benang dipintal dan dijadikan suatu sulaman indah, lalu diorak-arik dan dikusutkan kembali.  Bukan rahasia lagi semua komponen pendidikan di bangsa ini tahu carut marut dalam proses panjang standarisasi mutu ini, tapi anehnya ketika diperoleh hasil "ngibul" tersebut mereka akan saling berbangga dan berpidato bahwa proses panjang ini telah sukses dan berhasil dan standar pendidikan telah dicapai.

Bukan rahasia lagi banyak proses seperti itu dengan mentalitas yang sama akan mereka temui bahkan di dalam kelas sekalipun, bukan rahasia lagi karena hampir di mana-mana baik pusat dan daerah korelasi antara nilai raport siswa dan kemampuan mereka sejatinya sangatlah kecil. Namun ketika guru harus jujur menulis nilai apa adanya mereka akan mengalami banyak masalah dan dituding dengan berbagai tudingan kegagalan. 

ketika mereka memilih perguruan tinggi untuk karier masa depan lebih lanjut mereka akan temukan spanduk-spanduk tidak sesuai kenyataan. Mereka akan temukan bahwa untuk kuliah kedokteran diperguruan tinggi A anda butuh uang sekian dan sekian yang semakin melambung tinggi dan chanel begini begitu . Bukan rahasia lagi uang dan ketidak jujuran akan semakin "mulia" harganya dibatin mereka sejalan dengan bertambah "matangnya" mereka dari segi pendidikan. 

Lalu tidak mengherankan belakangan akan muncul sosok-sosok hipokrit luar biasa, sosok-sosok yang menyimpan "monster" dalam penampilan kemalaikatan mereka,..inilah ujung dari semua proses panjang dan melelahkan ini,...inilah yang sangat kutakutkan dan penyebab ku bersedih hari ini. Tidaklah heran kita jika kita amati siaran-siaran di TV bagaimana  koruptor-koruptor adalah dulu merupakan siswa-siswa cerdas dan sosok-sosok teladan, para akademisi teladan dan orang-orang yang tampak berpembawaan halus sopan dan penuh bahasa intelektual dan visioner ketika tampil, namun sepak terjang mereka dalam realitas sungguh mencengangkan. 

Hal ini dibuktikan tanda-tandanya oleh seorang siswa yang ketika bersalaman denganku tiba-tiba buang muka, padahal selama ini bukan main santunnya dan bukan main terlihat tulus, terbayang bertubi-tubinya telpon ortunya yang tidak kuangkat karena ia mendaftar disekolah ini dan belakangan dengan diam-diam kutemui sang kepala sekolah agar sudi menerima dia yang sebelumnya sekolah sudah bulat sepakat untuk menolak dia mendaftar walaupun nilainya sangat baik.  Tiba-tiba kusadari motivasi dari kesantunannya selama ini tidak lebih hipokritisme dan oportunisme, ditambah semburan ketus dari seorang orang tua wali murid ketika kutanya "sifulan ke mana?" lalu ia jawab dengan ketus "terserah dia,dia mau ke mana terserah", belakangan mereka memang merasa sangat terganggu karena perhatianku yang sangat besar pada anak yatim tersebut, masih teringat ketika mereka mengajakku makan siang sekeluarga dan mengatakan "ini kami titip sifulan didiklah dia dan anggap dia sebagai anak angkat" dengan tulus ikhlas kudidik anak tersebut dan alhamdulillah hingga hari ini dia menunjukkan prestasi yang semakin bagus. Belakangan ketika ia kuminta memberi motivasi ke adik kelasnya agar semangat belajar seperti dia, alih-alih datang malah datang dengan sendal jepit tanpa rasa hormat dan kesantunan sama sekali dan menyatakan tidak bisa. Kejadian-kejadian semisal ini begitu sering kualami yang membuatku benar-benar patah semangat untuk berbuat lebih banyak dan melakukan proses pendidikan yang diluar dari proses-proses formal dan mekanis ini. Padahal aku berkeyakinan proses-proses formal melalui jalur pembelajaran klasikal ini tanpa sang siswa harus memiliki ikatan batin guru murid tidak akan memberi hasil. Nayatanya ketika kulakukan proses yang yang kukira akan berhasil, hasilnya sama saja.


Kemiskinan ruh dan jiwa semangat pendidikan itu sangat terasa ketika kita lihat adab dan akhlak siswa yang semakin hari "kurang ajar", nyaris tidak ada siswa yang benar-benar meiliki adab yang baik, serta rasa menghargai dan menghormati guru secara tulus dan ikhlas. Alias dalam standar akhlak dan prilaku posisi seorang guru semakin hari semakin tidak bernilai.....betapa banyak murid yang telah kuperjuangkan, bahkan dibalik layar mereka kuperjuangkan yang jika seandainya kutidak campur tangan ketika itu keadaan akan menjadi lain dan masa depan mereka menjadi suram (ini bukannya bermaksud berandai-andai) namun belakangan ketika mereka lepas mereka tidak menunjukkan sama sekali sikap seorang yang pandai berterima kasih. Artinya apa yang harus ia perbuat untuk mengobati luka hatinya? Apakah arti ketulusan memberi tanpa mengharap apapun. 

Selama ini kupercaya diri dengan idealisme yang kupegang tulus ikhlas menebar ilmu tanpa harap apapun dengan murid-murid yang kubimbing, bahwa harapanku cuma membuat mereka sukses dan kaya dengan ilmu pengetahuan. Inilah alasan nyaris jarang sekali ku memungut biaya les dan bimbingan meskipun waktu yang kuhabiskan membimbing mereka terkadang berjam-jam. Belakangan mulai terlihat bahwa apa yang ada di dalam pikiranku adalah sebuah idealisme dari dunia pendidikan lama, jaman keemasan pendidikan islam jaman dahulu, bukan sistem pendidikan warisan kolonial dalam mental liberalisme dunia industrial dan ekonomi global yang menjadi anutan dunia pendidikan modern ini. Dan semua kenyataan ini membuatku ingin melakukan refleksi mendalam terhadap hakikat pendidikan sekuler dan kelemahannya serta kelebihannya jika dibandingkan dengan proses yang ditawarkan oleh islam dan telah dianut dalam berbagai sistem pendidikan pondok dan pesantren di nusantara ini, sebelum sistem pendidikan sekuler selanjutnya menjadi "syahadat" dunia pendidikan modern ini.

Salah satu kitab pegangan akhlak dan adab seorang penuntut ilmu zaman itu adalah kitab yang saya ambil sebagai nama dari blog ini Ta'lim Muta'allim.  Salah satu matannya dari kitab itu berbunyi "Termasuk menghormati guru ialah, hendaknya seorang murid tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, jika di hadapannya, dan tidak memulai bicara kecuali ada ijinnya. Dalam konsep penddidikan sekuler yang berwawasan profan, adab ilmu sebagaimana yang tertulis dalam buku klasik ini tentu dianggap memancing untuk  berpikir dan berwawasan jumud dan tidak kritis.  Mereka lupa, untuk menghasilkan siswa yang cerdas dan kritis tidak perlu dicapai dengan mengorbankan adab ilmu, mereka juga tidak perlu harus mengekor dan memuja konsep humanisme dan HAM Barat yang sikap egaliternya telah kebabablasan menabrak akhlak dan adab-adab pentuntut ilmu sebagaimana digariskan oleh Islam.

Kitab karangan Syeikh Az Zamuji ini begitu luar biasa dan menyimpan mutiara sangat mahal dalam hakikat pembelajaran. Kitab yang tipis ini telah beratus tahun menjadi rujukan di sejumlah Pondok dan Lembaga Pendidikan Pesantren.

Satu hal yang saya catat soal perkembangan dunia pendidikan di tanah air adalah kurang jelasnya visi dan misi. Pendidikan kita seolah tidak punya karakter yang jelas, selain seolah seperti "orang yang galau" yang berusaha keras beradaftasi di tengah dunia modern yang begitu cepat berubah dan nilai-nilai yang tidak pernah dipandang mapan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar