Kamis, 30 Oktober 2014

Dikumpulkan bersama Kekasih

(Bloger) Hati diciptakan untuk menampung rahasia cinta. Namun hati yang tertipu akan mencintai sesuatu yang buruk, misalkan dunia yang fana ini dengan segala pernak-perniknya, baik itu harta benda, tahta wanita, kemasyhuran dan lain sebagainya. Rasulullah telah memberi isyarat dalam sebuah hadist beliau SAW tentang bahayanya sembarang mencintai sesuatu. 

Namun kita juga menemukan fenomena yang disebut sebagai mengaku-ngaku sebagai pecinta,. bagaimanakah persoalan ini dalam pandangan para arifbillah? berikut ulasannya...

Tanya
As-Sayyid al-Jalil 'Isa bin Muhammad al-Habsyi bertanya mengenai Hadist Rasulullah SAW:

Seseorang (akan dikumpulkan) bersama yang ia cintai 
                                                                (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud)

"Apakah Hadis ini berlaku bagi orang yang perbuatan dan ucapannya bertentangan dengan perilaku orang yang di cintainya?"

jawab
Habib 'Abdullah al-Haddad rodhiyallohu 'anhu menjawab:
Ketahuilah, semoga Allah memberimu pengertian, sesungguhnya hadis ini memuat berita gembira sekaligus ancaman. Karena yang dicintai dalam konteks Hadis ini bisa dari golongan orang yang taat kepada Allah (abror) dan bisa juga dari kelompok orang yang durhaka (fujjar). Seseorang yang mencintai dunia yang penuh dengan hal-hal yang terkutuk, tentu ia akan terkutuk pula bersamanya.

Sesungguhnya kebersamaan ini dapat diperoleh oleh setiap pencinta. Namun, cinta tidaklah sah tanpa ada usaha untuk menyesuaikan diri dengan yang dicintai, yaitu dengan meneladani sebatas kemampuan apa yang dilakukan (disukai) dan ditinggalkan (dibenci) oleh sang kekasih. Cinta hanyalah pengakuan yang rapuh kecuali terdapat kesesuaian dengan pribadi yang dicintai. Seseorang yang mengaku cinta tetapi memiliki maksud dan tujuan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan orang yang dicintai-meskipun ia mampu menyesuikan diri-dan ia tidak bersedia membantu orang yang membantu orang yang dicintai, dan tidak memusuhi orang yang memusuhi orang yang dicintainya, maka  akan menghukumi bahwa cintanya palsu. Meskipun demikian, untuk memperoleh kebersamaan tersebut tidak disyaratkan bahwa kita harus menyamai orang yang kita cintai dalam segenap urusannya, sebab hal itu memerlukan peneladanan total. Siapa yang mampu berbuat demikian! Jadi, ketahuilah, bahwa cinta selamanya tidak akan diakui tanpa adanya peneladanan.
(An-Nafaisul 'Uluwiyyah:78-79)




   

Selasa, 28 Oktober 2014

Sifat Dunia

(Bloger) Isyarat adalah makanan orang berakal yang mempunyai nurani yang bening dan jernih dalam menangkap kebenaran hikmah. Sebagian dari para ulama yang arif sering memformulasikan kebenaran yang sangat dalam dalam bahasa isyarat atau ungkapan yang ringkas yang bagi orang awam bagai teka-teki yang membingungkan, agar maknanya yang dalam dapat difahami oleh mereka yang mendalam ilmunya dan isyaratnya tidak serta merta "dijual murah" kepada mereka yang mensia-siakannya.

Suatu ketika seorang yang arif bertanya pada seorang waliyullah yang ilmunya mendalam:

Tanya
 As Sayyid Abu Bakar bin Ali bin Ibrahim al-Baiti bertanya tentang ucapan Yahya bin Mu'adz ar-Razi, "Tinggalkanlah dunia seluruhnya, kamu akan memperoleh semuanya. Meninggalkannya adalah dalam mengambilnya dan mengambilnya adalah dalam meninggalkannya"

Jawab
Habib Abdullah al-Haddad ra menjawab:
Ucapan itu jelas dan tidak pelik. Maknanya, barang siapa meninggalkan dunia dengan jalan berzuhud (Zuhud asal katanya berarti tidak menyukai, menjauhi, meninggalkan. Dalam istilah tassawuf berarti meninggalkan keduniaan untuk beribadah secara sempurna) maka Allah akan memberikan kenyamanan (rohah) dalam hatinya dengan jalan mencabut keinginan dan perhatiannya pada dunia, serta memberi kenyamanan pada tubuhnya karena tidak perlu berpenat-penat mencarinya. Orang yang berakal hendaknya bersikap demikian di dunia.

Dalam mencari dunia, manusia berusaha keras lahir dan batin. Ia menempuh jalan yang keliru sehingga sia-sia usahanya. Adapun orang yang zuhud, justru berhasil memperolehnya.
Rasulullah SAW bersabda:
"Hidup zuhud di dunia membuat hati dan badan menjadi tenang dan mendambakan dunia akan memperbanyak duka dan kesusahan" (HR Qadha'i dari Ibnu 'Umar)

Seorang ahli hikmah ditanya,"Untuk siapakah dunia ini?" Ia menjawab, "Untuk orang yang meninggalkannya." Ketika ditanya, "Untuk siapakah akhirat itu?" Jawabnya, "Untuk orang yang mencarinya."
(An-Nafaisul 'Uluwiyyah:188)

Minggu, 26 Oktober 2014

Ilmu dan Adab Menurut Para Arifbillah


"Ketahuilah, adab adalah tepung sedangkan ilmu adalah garamnya.  Ilmu itu hanyalah keberkahan semata " (Kumpulan mutiara nasehat al habib ali al habsy mu'allif simtud duror)

 

Rabu, 22 Oktober 2014

Baik Sangka dan Sikap Positif para Arif

Jiwa yang bersih dan berbaik sangka, tidak mudah menduga yang buruk-buruk kepada sesama saudara muslimin adalah sifat dari manusia yang arif. Namun kita lihat berbaik sangka dan melihat sesama muslimin dengan keyakinan yang baik dan positif adalah fenomena yang semakin luntur di jaman ini. Dengan mudah kita lihat dan kita temukan orang yang tampak "berakal" namun rajin berprasangka buruk kepada sesama, sedikit saja praduga muncul dari syaithan soal saudaranya dengan mudah mereka tanggapi dan yakini. 

Bahkan hal ini dicapai dengan kesibukan mencari-cari dan menduga-duga berbagai kesalahan saudaranya seiman. Dengan enteng label-label buruk akan segera dilontarkan, seperti suka melempar tuduhan-tuduhan, yang terkadang berwujud menjadi sebentuk pembid'ahan, pensyirikan, pengkafiran dan berbagai pelabelan berbahaya dan buruk  lainnya. Begitu juga melemparkan berbagai isyu-isyu yang tidak jelas ketentuannya di bidang politik maupun ekonomi. Hal ini tidak dapat tidak lahir dari jiwa yang suram yang penuh dengan hasad dan dengki dan tidak tersentuh suluh hidayah. Jiwa yang buruk akan melihat keburukan di mana-mana, padahal yang ia lihat keburukan tersebut boleh jadi hanyalah cermin jiwanya yang gelap.

Mari kita hayati bagaimana orang yang berjiwa arif dan bersih bersikap dan betapa bening jiwa-jiwa mereka yang bercahaya dalam melihat cermin dunia ini pada sesama saudaranya kaum muslimin. Para arif biasa mendorong orang pada kondisi yang baik meski yang bersangkutan melakukan sesuatu yang secara kasat mata berbentuk pelanggaran. 

Pada suatu ketika ada seseorang yang mengaku mencuri kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda "Setahuku, kau tidak pernah mencuri." (HR. Darimi).

Sahabat Ma'iz ra saat mengakui telah berbuat Zina, Rasulullah SAW bersabda "Mungkin kau hanya mencium atau merangkulnya" (HR. ALBUKHARI). 

Seorang sahabat telah membunuh orang kafir yang telah mengucapkan kalimat "lailahaillallah" nabi SAW bersabda, "apakah engkau telah membelah hatinya?" 

Beliau juga pernah bersabda 
"Janganlah engkau mengira satu kalimat yang keluar dari mulut seorang muslim sebagai kalimat yang buruk, padahal engkau mengenali orang itu ahli berbuat baik." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'ab al Iman)

Al-Allamah al Manawi menyebutkan dalam ath-Thabaqat pada Biografi Imam Ahmad bin Hambal; As-Salafi meriwayatkan dalam athuyurat dari Al-Atiqi  dari Ath-Thurtusi dari Ath-Thabrani dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata, "Aku mendengar ayahku ditanya, 'Orang-orang sufi itu duduk-duduk saja di masjid seraya bertawakkal tanpa disertai ilmu.' Imam Ahmad berkata, 'Ilmu yang membuat mereka duduk di masjid.' Dikatakan kepadanya, 'yang mereka pikirkan hanya makanan dan pakaian.' Imam Ahmad berkata, aku tidak mengetahui uzur yang lebih besar dari orang yang cirinya seperti itu.' Dikatakan kepadanya, 'Saat mendengarkan zikir, mereka bangun lalu menari.' Imam Ahmad berkata , 'Biarkan saja mereka bersenang-senang dengan Rabb mereka'." (sumber kisah dari kitab Tahdzir Al-Ikhwan al allamah al muhaqiq Zainal Abidin Ba'alawi)


Sabtu, 18 Oktober 2014

Pengaruh Amal terhadap Hati




Ketahuilah, sesungguhnya berbagai amal baik seperti puasa, shalat dan sejenisnya akan memberikan pengaruh yang baik kepada hati yang lembut dan suci. Orang-orang yang memiliki hati lembut dan baik seharusnya menjadikan amal-amal ini sebagai jalan mereka menuju Allah Ta'ala. Manfaat amal-amal ini untuk orang-orang yang sombong dan berhati keras sangat kecil. Bahkan mereka dapat semakin sombong dan 'ujub karenanya.

Orang-orang yang sombong dan berhati keras harus mengobati penyakitnya dengan amal yang mampu menghancurkan kekuasaan nafs, seperti: Pergaulan dengan orang-orang yang tidak mampu, tawadhu' kepada kaum miskin, meneladani penampilan dan amal mereka, membawa sendiri sedekahnya ke rumah kaum fakir, rumah orang-orang yang tidak di perhatikan dan hatinya luluh (karena Allah) dan mendatangi orang-orang yang tidak di kenal. Pengaruh amal ini bagi nafs yang sulit dan keras lebih baik dari pada pengaruh puasa (sunah) dan shalat (sunah).

Diriwayatkan bahwa ada seorang ulama Bani Israil yang telah mengarang 860 buku hingga namanya tersohor ke seluruh penjuru dunia. Suatu hari Allah Ta'ala mewahyukan kepada seorang Nabi di zaman itu, "Katakanlah kepada Fulan, 'Engkau telah menebarkan kemunafikan di muka bumi. Semua amalmu itu tidak engkau tujukan untuk-Ku.' Ketika Sang Nabi menyampaikan wahyu Allah ini kepadanya, ia segera bersimpuh di hadapannya dan membuang semua bukunya. Selang beberapa waktu ia beribadah dalam sebuah gua di gunung. Allah kembali mewahyukan kepada Sang Nabi, "Temui ulama itu dan katankan padanya, 'Allah berkata Dia tidak meridhoimu." Ketika sang Nabi menyampaikan wahyu ini kepadanya, ia kebingungan dan berkata, "Apa yang harus kulakukan?" Allah Ta'ala lalu memberinya ilham untuk pergi ke pasar dan merendahkan dirinya. Ia pun segera melaksanakan ilham itu; merendahkan dirinya, membantu kaum lemah dan membelai kepala anak yatim. Tak lama kemudian Allah Ta'ala mewahyukan kepada Nabi-Nya, "Katakan kepadanya, 'Sekarang Aku meridhoimu."

Diriwayatkan pula bahwa seorang penjahat Bani Israil bertemu dengan seorang ahli ibadah ('abid) Bani Israil dalam sebuah perjalanan. Penjahat itu mengikuti sang 'abid sambil berkata dalam hati, "Ketika 'abid itu memperoleh rahmat, semoga aku mendapatkannya juga." Dia terus mengikuti si 'abid menoleh dan berkata, "Apa urusanku denganmu, aku adalah 'abid Bani Israil, sedangkan engkau penjahat Bani Israil. Menyingkirlah!" Dia segera pergi meninggalkan sang 'abid dengan hati hancur. Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepada Nabi di zaman itu, "katakan kepada penjahat itu, 'Aku telah mengampuni semua dosamu karena engkau merendahkan diri kepada si 'abid.' Dan katakanlah kepada si 'abid, 'Aku telah menghapuskan semua kebaikanmu karena kesombonganmu kepada penjahat itu.' Katakan kepada keduanya untuk segera beramal dari awal."
(Sayyid Muhammad bin 'Abdullah Al-'aidarus dalam kitabnya Idahu Asrori Ulumil Muqorrobin)

Syafaat Sang Nabi


 Senandung Sahabat Mazin ibn al-'Adhub ketika datang kepada Rasulullah SAW untuk memeluk Islam seraya memohon syafaat kepada baginda Nabi SAW

"Kepadamu Wahai Rasulullah....Untaku lari melintasi padang Sahara, dari Oman hingga 'Araj agar engkau memberiku syafa'at, wahai sebaik-baik orang yang menginjak kerikil. Hingga akhirnya Tuhan mengampuniku dan aku pergi membawa kemenangan" (HR. Abu Nu'aim dalam Dalailu al- Nubuwwah).

Kamis, 16 Oktober 2014

Membatalkan Puasa Sunnah demi Doa Seorang Muslim


Suatu hari Syeikh Ma'ruf (alKharki) berjalan melewati seseorang yang membagikan air secara cuma-cuma sembari berkata, "Semoga Allah merahmati seseorang yang mau meminum airku ini." Mendengar doanya Syeikh Ma'ruf yang sedang berpuasa sunnah itu pun segera meraih gelas yang berisi air tersebut dan meminumnya. Seseorang yang menyaksikan peristiwa itu bertanya kepada beliau:

"Bukankah engkau sedang berpuasa, mengapa engkau batalkan puasamu?"


"Benar aku sedang berpuasa, akan tetapi doanya lebih kuharapkan dari pada puasa sunnahku, " jawab beliau

HIKMAH DI BALIK KISAH

Orang-orang saleh terdahulu memiliki jiwa yang bersih. Mereka senantiasa berprasangka baik dan merendahkan diri kepada orang lain. Sehingga, ketika mendengar doa seperti tersebut di atas, mereka sedikitpun tidak berpikir bahwa puasanya lebih hebat dari doa penjaja air tersebut 

(dikutip dari kitab Akhlak Para Wali karya Ustadz Naufal bin Muhammad Al Aidarus)

Rabu, 15 Oktober 2014

Tetaplah Menuntut Ilmu


Dengarlah kisah berikut wahai Putriku Buah hatiku si Biran Tulang, tentang semangat menuntut Ilmu,....
adalah Syeikh Ahmad bin Hajar al Haitami dulunya mencoba menjadi pedagang. Setiap kali berdagang, ia rugi. Ia lalu memutuskan untuk tidak berdagang lagi.

"Aku akan bergerak dalam suatu usaha yang tak kenal rugi,"
katanya, "bahkan semuanya serba menguntungkan."

Ia lalu merantau menuntut ilmu. Akan tetapi dalam mencari ilmu, ia mendapat kesulitan dalam memahami pelajaran. Ia pun kemudian meninggalkan usahanya menuntut ilmu.

Suatu hari, ketika melewati sungai, ia menyaksikan tetesan air yang mengakibatkan lekukan pada batu. 
"Manakah yang lebih keras, batu ini atau hati Ahmad bin Hajar al Haitami?. Namun tetesan air tidak akan membuat lekukan pada batu kecuali jika terus menerus menetes," pikirnya.

Ia kemudian kembali menuntut ilmu dengan tekun sampai akhirnya menjadi seorang yang 'alim.
(dikutip dari Tuhfah al Asyraf)

Keyakinan dan Prasangka Baik


Pada suatu hari 40 pencuri keluar kota untuk melakukan pekerjaannya. Ketika malam tiba, mereka memasuki sebuah kota. Di kota itu, mereka tidak memiliki teman yang dapat disinggahi atau tempat untuk istirahat. Mereka bertanya kepada penghuni kota di mana mereka bisa istirahat. Orang kota itu menyarankan agar mereka tinggal di pondok pesantren. Mereka kemudian menyamar sebagai penuntut ilmu dan pergi ke suatu pesantren. Sesampainya di sana mereka mengetuk pintu.
"Siapa ya...?" tanya seorang santri.
"Kami hendaK menuntut ilmu di sini," jawab mereka.


Pintu pun lalu dibuka dan mereka mempersilahkan masuk. Malam itu juga mereka menjadi santri di pondok pesantren. Ketika para santri telah lelap dalam tidurnya, mereka melasanakan pekerjaan mereka. Namun, mereka pulang dengan tangan kosong, karena tidak dapat menemukan barang yang pantas dicuri.


Pemilik pesantren memiliki  seorang anak yang telah bertahun-tahun tak mampu berjalan. Ketika melihat para pencuri tadi berwudhu, ia mengambil air bekas wudhu mereka lalu mengusapkan air itu kekaki anaknya dengan niat untuk mendapat berkah mereka. "Semoga Allah menyembuhkan penyakitnya," katanya dalam hati dengan penuh keyakinan.


Ketika para pencuri itu kembali dari pekerjaannya, mereka melihat anak itu berjalan padahal setahu mereka anak ini selama bertahun-tahun hanya bisa duduk saja.


"Bagaimana ia dapat berjalan, bukankah sebeumnya ia hanya bisa duduk saja?" tanya mereka keheranan.


"Benar, ini berkat kalian. Aku mengambil air bekas wudhu kalian dan mengusapkan ke kakinya. Rupanya Allah berkenan menyembuhkannya," jelas pemilik pesantren.


Pencuri itu saling berbisik, "Tuhan memperlakukan kita dengan baik, sedangkan kita selalu bermaksiat kepada-Nya. Kami akan bertobat dan akan bersungguh-sungguh menuntut ilmu."
Mereka semau lalu benar-benar menjadi santri dan selalu tekun menuntut ilmu. Karena kesungguhan mereka, Allah kemudian memberi mereka fath (penyingkapan pemahaman yang besar).


Keyakinan adalah suatu hal yang besar. Disebut dalam sebuah syair.


Jika seseorang meyakini
namun, kenyataan lain dari yang disangka
ia tak akan kecewa
karena Allah akan tetap memberi karunia.

(Dikutip dair kitab Tuhfa al-Asyraf, yaitu kitab yang memuat kalam Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin 'Abdurrahman as-seqqaf yang ditulis oleh muridnya, Habib Ahmad bin 'Alwi al-Jufri.)

Selasa, 14 Oktober 2014

Wahai Sahaya Nan Bodoh




"(Wahai Sahaya) Janganlah engkau tertipu dengan kepatuhanmu dan mengaguminya. Mohonkanlah kepada Allah untuk menerimanya, dan waspadalah dan takutlah jika engkau dialihkan kepada yang lain. Apa yang akan melindungimu, jika disabdakan kepada ketaatanmu, "jadilah engkau sebagai suatu kedurhakaan", dan kepada keberhasilanmu, "jadilah engkau sebagai kekeruhan". Barangsiapa yang mengenal Allah, maka ia tidak berdiam dengan sesuatu atau tertipu dengan sesuatu. Ia tidak merasa aman, sampai ia keluar dari dunia dengan agama yang selamat dan terjaga apa yang ada antara dirinya dengan Allah" (Syeikh Abdul Qodir al Jailani dalam kitabnya al Fathurrobbaniy)

Sabtu, 11 Oktober 2014

Kalam Mulia Tuan Guru


"Hai orang yang mendapat nikmat pandangan mata--syaraf mata yang berjumlah ribuan atau jutaan memindah gambar ke hatinya sehingga ia memiliki banyak pemahaman--bertaqwalah kepada Tuhan Yang telah menciptakan pandangan mata ini dan memberikannya kepadamu. Awaslah, bagaimana engkau gunakan mata itu dan bagaimana mata itu mengarahkanmu. Apakah sudah sesuai tuntunan syariat yang ditetapkan, diterangkan, dan dijadikan oleh-Nya sebagai jalan yang mesti dilaluinya? Ataukah, engkau berani melanggar Tuhan yang menganugrahkan dan memberi nikmat mata ini kepadamu, dengan menggunakannya untuk sesuatu yang diharamkan dan dilarang oleh-Nya untukmu?" (al Habib Umar bin Hafidz, Mamlakatul-Qalbi wal-A'dha')

Jumat, 10 Oktober 2014

Kalam Habib Umar

"Orang-orang cerdas dari kalangan orang-orang Mukmin biasanya jika memiliki hajat apapun yang terkait dengan makhluk dalam wilayah apapun, maka mereka terlebih dahulu menengadahkan hajat itu kepada Allah, memohon dan menghadap kepadaNya. Setelah itu mereka pergi menemui makhluk itu dan menyampaikan keperluan itu kepadanya, dengan hati yang tetap terikat kepada Allah SWT. Kemudian, jika hajat itu sudah terpenuhi, mereka tidak lupa bersyukur kepada orang itu. Jika tidak terpenuhi, mereka memakluminya" (Habib Umar bin Hafidz dalam kitabnya Mamlakatul-Qalbi wal-A'dha')

Kamis, 09 Oktober 2014

Ilmuwan Muslim

Ilmuwan Ulung: Yang Mulia Tan Sri Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas

Yang Mulia Tan Sri Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas


Y.M Syed Muhammad Naquib al-Attas (Tan Sri Prof. Dr.), lahir di Bogor, Indonesia pada 5 September 1931. Meskipun begitu, di hari-hari kemudiannya, anak dari leluhur Ba’Alawi, Hadramaut ini lebih mashyur sebagai pemikir Muslim dari Malaysia yang menguraskan kudrat dan waktunya demi membangunkan weltanschuung Islam serta membina landasan kesusasteraan Melayu moden.

Nenek al-Attas, Ruqayyah Hanum adalah seorang bangsawan Turki. Datuknya, Syed Abdullah bin Muhdin al-Attas, adalah seorang kiyai terkenal di Jawa. Sementara itu, ibunya, Sharifah Raguan al-Aydarus berasal dari Bogor, Jawa dan berketurunan raden-raden kerabat Diraja Sunda dari Sukapura. Manakala ayahnya, Syed Ali bin Abdullah al-Attas, berasal dari Johor Bahru, yang bergaris dengan Ungku Abdul Majid, adinda Sultan Abu Bakr, Sultan Johor yang ke-21.

Sudah tentu, dengan limpahan keluarga besar dan berada ini, al-Attas terdidik dengan penuh kecukupan dan kesempurnaan. Al-Attas, anak kedua dari tiga beradik itu membesar bersama-sama abangnya, Syed Hussien al-Attas yang kemudian terkenal sebagai mantan Naib Canselor Universiti Malaya (UM) dan politikus, serta bersama adiknya, Syed Zaid al-Attas, yang juga seorang akademia di Universiti Teknologi Mara (UiTM). Mereka bertiga memperoleh asuhan pertama langsung dari orang-tuanya. Namun, sewaktu berusia 5 tahun, al-Attas dibawa ke Johor, Tanah Melayu, untuk memulakan pendidikan rendahnya di Sekolah Ngee Hen. Tapi, pendidikannya tersekat ekoran pendudukan Jepun. Lalu, al-Attas kembali semula ke Indonesia dan belajar di Madrasah Al-`Urwatu’l-Wuthqa, di Sukabumi, Jawa. Di sana, persekitaran madrasah menuntutnya menguasai Bahasa Arab, bagi memastikan kitab-kitab tradisi Islam ditelaah dari sumber dan bahasa pertamanya.

Apabila Perang Dunia Kedua berakhir, iaitu pada 1946, al-Attas ke Johor untuk melengkapkan pendidikan menengahnya. Ketika itu, iaitu di Bukit Zahrah School dan English College, al-Attas mula menampakkan minat yang mendalam dalam kesusasteraan Melayu. Lebih bertuah, al-Attas dibenarkan memanfaatkan bahan bacaan langka dan nadir yang terhimpun perpustakaan Ungku Abdul Aziz. Tak aneh, jika di waktu mendatang, al-Attas merasa amat terhutang dengan khazanah yang terdapat dalam kepustakaan tersebut. Demikian zaman persekolahan al-Attas. Sekiranya di Tanah Melayu, bakat kesusasteraan Melayu terasah. Bila di Jawa, al-Attas tergarap dengan pendidikan Islam tradisi. Ternyata, dua pengalaman dari dua wilayah serumpun ini amat berbekas padanya—sehingga mewariskan kepadanya kefasehan sastera dan kehalusan ilmu agama.

Setelah tamat persekolahan menengahnya, al-Attas mendaftar untuk memasuki Rejimen Askar Melayu Diraja sebagai pegawai kadet. Rejimen ini adalah sebuah pasukan tempur infantri utama yang terdapat dalam tentera darat Malaysia. Walau bagaimanapun, pada awal penubuhannya, rejimen ini ditubuhkan untuk menampung sokongan ketenteraan pada British yang ketika itu menjajah Tanah Melayu. Dengan wujudnya hubungan akrab antara British dan Tanah Melayu ini, maka segelintir askar Melayu akan diberi latihan ketenteraan lanjutan di Britain. Beruntung, al-Attas adalah salah seorang yang terpilih.

Di Britain, sepanjang 1952-1955, al-Attas menempuh pendidikan ketenteraannya di Eton Hall, Chester, England dan seterusnya di Royal Military Academy, Sandhurt, UK. Tapi malang tak berbau, sewaktu terlibat dalam ketenteraan ini, al-Attas mengalami masalah pendengaran ekoran kesan letupan yang dialaminya. Walaupun begitu, kesempatan di rantau Eropah ini sebenarnya lebih banyak mengusung hikmah buatnya. Dalam keterasingan budaya ini, al-Attas terangsang untuk menyelami sosio-budaya masyarakat Eropah, yang baginya sudah ditelan sekularisme. Di sini juga, al-Attas mulai bertafakur merungkai jawapan-jawapan kefalsafahan dari kesenjangan keruhanian masyarakatnya. Benar kata pepatah Persia, “berfikir itu adalah intipati kebijaksanaan.” Renungan demi renungan kian menyakinkan al-Attas bahawa khazanah Islam punya kekayaan yang harus diperkasakan kembali.

Al-Attas insaf, budaya Britain saja tak memuaskan keyakinannya. Di celah-celah ruang-waktu yang ada, al-Attas mengambil peluang berkunjung ke Sepanyol. Di sana, di hadapan matanya, tersergamnya tinggalan senibina Islamnya yang memautkan hatinya. Andalusia, dalam sejarah Islam memang tercatat sebagai sebuah kota yang menggiring kebangkitan ilmu Eropah. Fikiran Ibn Rushd misalnya, berdampak besar dalam mencerahkan pemikiran moden masyarakatnya. 


Begitu juga lawatannya ke Afrika Utara, sebuah wilayah yang juga tersimpan selonggok warisan Islam yang tak terkira. Apa yang terdapat di Fez, Maghribi barangkali tetap segar dalam ingatannya. Senibina Islam di Fez, sebuah kota eksotik, harus kita akui terpelihara dan terpulihara ekoran sumbangan besar dari Louis Masiggnon—yang menggunakan pengaruhnya bagi melestarikannya agar tak terkikis penjajahan.

Masa terus bergulir. Seraya, semua yang terbentang ini tak pernah melegakan al-Attas. Hatinya percaya, ada yang belum selesai lagi. Pasti, Islam tak cukup hanya berdiri atas keterpanaan sejarah dan tembok-tembok batu semata. Islam adalah din, sebuah weltanschuung kebelakaan yang melampaui setiap zaman; masatu dan masani—dengan meminjam istilah al-Attas sendiri. Setiap pengalamannya di Eropah—dari pergaulannya, dari pemerhatiannya, dari pengetahuannya—semakin memasakkan lagi iltizam al-Attas untuk mencungkil pencerahan Islam atas iktibar Eropah ini. Di tambah lagi, bila dibandingkan dengan kemodenan Eropah, belahan Muslim pula kerap terkeliru dengan jatidiri sendiri.

Akhirnya, tanpa ragu-ragu, al-Attas memutuskan untuk menamatkan karier ketenteraannya, dan segera menyambung kembali tingkat pendidikannya. Kembali ke tanahair, al-Attas memulakan ijazah sarjana pertamanya di UM. Mendaftar dengan penuh semangat, tekad al-Attas membuak-buak. Tatkala cinta dan kehendak bertemu, maka tiada apa yang dapat menghalang. Cinta dan kehendak al-Attas pada ilmu-ilmu Islam memang nirbatas. Keberahian intelektual al-Attas adalah nalurinya yang terpendam, dan tak pernah surut.

Dan, keghairahan ini jelas dirasakan dalam Rangkaian Ruba’iyyat (1959), antara karya kesusasteraan yang paling awal diterbitkan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Buku kecil ini dikarangnya sebelumnya usai belajar ijazah pertama lagi. Nama ruba’iyyat ini saja memancing perhatian kita pada Umar Khayyam, pujangga besar Persia, yang terkenal dengan ruba’i-ruba’inya. Menerusi dedikasi rakaman sha’ir tersebut, al-Attas menukilkan:

Bangunlah! Kalam, kau kuda pahlawan,
Galakkan debu ’tempuran seni bahasa,
Tempikkan suaramu dilapangan puisi,
Dan petik lagammu dari taman Fantasi.


Rangkaian Ruba’iyyat (1959) adalah sebuah naskah yang mencoretkan dhamir al-Attas, dan dengan gaya bahasa Melayu beralun Islam. Pendeta Zaba sendiri yang mengambil kata pengantar karya molek itu pun menghargainya. Tak silu, Zaba menyatakan bahawa Rangkaian Ruba’iyyat (1959) adalah membangkit hasrat besar, iaitu ”menuturkan beberapa fikiran dan perasaan atau kesedaran hambaNya menerusi permandangan batin dan dzauq pihak ruhani sebagaimana yang terdapat pada ahli-ahli tasawwuf yang tinggi.” Itulah al-Attas, dengan sebuah karya yang santun terhadap kesusateraan sendiri. Namun itu bukanlah satu-satu karyanya sewaktu ijazah pertama. Selama 1957-1959, iaitu ketika di Universiti Malaya, al-Attas turut menulis buku Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays (1963).


Buku yang hanya diterbitkan pada 1963 ini dibiayai penyelidikannya Malaysian Sociological Research Institute (MSRI), sebuah pertubuhan yang turut dianggotai Majid Khadurri dan Ahmad Ibrahim, seorang professor besar dalam dalam perundangan negara. Malah, jawatankuasa penyelidikan ini juga dipimpin Zaba sendiri. Buku yang dewasa ini menjadi klasik berkesan memaparkan panorama tasawwuf—sama ada ilmunya atau amalannya—di Alam Melayu, khususnya Semenanjung Tanah Melayu.

Sebab itu, tak mustahil, jika buku ini adalah yang pertama—secara komprehensif—mencatatkan fenomena sufisme di Alam Melayu. Mithalnya, al-Attas secara jernih berkongsi nuansa kebangkitan Islam di Aceh yang satu hingga menghadhirkan banyak pemikir Muslim di Alam Melayu. Ini termasuklah Hamzah Fansuri, yang kerap dikenali sebagai Ibn ’Arabinya Alam Melayu, Nuruddin al-Raniri yang pernah menjadi perdana menteri Acheh, juga Shamsu’l-Din al-Sumatrani, yang akrab dengan ajaran Junayd al-Baghdadi, dan Abdul Rauf Singkel, seorang sufi yang dekat dengan ajaran Shattariyyah.

Di sudut yang lain, al-Attas percaya ajaran sufi berkemampuan untuk mengatasi kemelut perkauman menerusi sikap tolak-ansurnya. Arakian, al-Attas sedar terdapat sebahagian kumpulan sufi di daerah-daerah tertentu, seperti Naqshabandiyyah yang terseret dengan kekerasan, dan Ahmadiyyah yang terheret dengan wahabisme. Sebagai pendukung wasilah tasawwuf, al-Attas memang mementingkan aspek-aspek metafizik. Ternyata, keilmuan sufi bukanlah miskin, sebaleknya berpotensi menawarkan pencerahan terhadap kekeringan jiwa sesebuah masyarakat, apatah lagi individu.

Semasa di UM juga, al-Attas tak terkekang dengan alam intelektual semata—akademik mahupun semi akademik—tapi turut memainkan peranan penting dalam mengasaskan Persatuan Mahasiswa Islam UM (PMIUM). Aktivisme persatuan ini ditubuhkan dengan hasrat awalnya untuk mengerakkan faham Islam, sekaligus memugar citra mahasiswa yang teguh pemikiran keagamaannya.

Setelah menamatkan pengajian di UM, dan berdasarkan kepada mutu keilmuan yang ditampilkannya, al-Attas ditawarkan Canada Council Fellowship. Biasiswa ini memang sengaja diperuntukkan kepada rakyat Malaysia yang mempunyai kemampuan akademik terpuji bagi melanjutkan pengajian pascasiswazah di bawah negara-negara Komanwel. 


Al-Attas tak perlu waktu lama untuk menerima tawaran tersebut. McGill University di Montreal, sebuah institusi pendidikan tinggi yang bergengsi, menjadi menara gading keduanya. Selama lebih kurang dua tahun bertekun di Kanada, al-Attas berjaya menamatkan pengajiannya menerusi tesis, Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh (1966). Melalui tesis inilah, al-Attas mula mencungkil, menyusun dan membongkar secara terancang tradisi Islam yang terdapat di negeri Iskandar Muda tersebut—wilayah yang memberi makna penting dalam kehadhiran Islam terawal di Alam Melayu. Tesisnya ini akhirnya dimonografkan, dan diterbitkan Malaysian Branch Royal Asiatic Society (MBRAS).

Dalam tesis tersebut, al-Attas menganalisis secara kritis tema-tema debat antara Raniri dan Hamzah, yang secara tak langsungnya melibatkan juga Shamsu’l-Din al-Sumatrani dan Abdul Rauf Singkel. Melalui teks Hujjatu’l-Siddiq li daf’il-Zindiq dan Tibyan fi Ma’rifati’l-Adyan, Raniri mengkritik faham Wehdatul Wujud, serta falsafah mistik lain sebaran Hamzah. Dua buah karya Hamzah yang menerima kritikan Raniri ialah, Asraru’l-Ariffin dan Sharabu’l-Ashiqin. Di sini juga, al-Attas sempat menatarkan sejarah Islam di Alam Melayu, khususnya di Aceh. Sebagai sarjana yang lahir dari rahim sendiri, tentu sekali penyelidikan al-Attas ini suatu pengukuhan dalaman bangsa, dan meletakkannya sebaris di kalangan orientalis-orientalis tentang Alam Melayu yang lain. Tesisnya ini mendapat nilaian baik dari Richard Winstedt, seorang orientalis bahasa dan kesusasteraan Melayu di London.

Menariknya, kebetulan di Montreal ini, iaitu di bawah bumbung Pengajian Islam, al-Attas sempat berkenalan dengan beberapa tokoh besar dalam kajian keislaman sejagat seperti, Fazlur Rahman, Seyyed Hossein Nasr, Hamilton Gibb dan Toshihiko Izutsu, Mukhti Ali, dll. Pergaulan dan perbincangan sesama mereka membantu menajamkan pengetahuan masing-masing. Ini seterusnya membina jaringan intelektual yang mesra antara mereka. Lebih manis, Montreal nampaknya bukan saja mengirim nama al-Attas ke arena antarabangsa, tapi juga rupa-rupanya mengirim al-Attas ke alam rumahtangga.

Di sana, al-Attas menemui jodohnya dengan Maureen, yang memeluk Islam setelah mengakui ketinggian ilmu Islam hasil wacana sesama mereka. Bersamanya, mereka membina sebuah keluarga intelektual, dan diangugerahkan empat orang anak. Salah seorangnya adalah Syed Ali Tawfik al-Attas, yang kini merupakan Pengarah Institut Kemajuan Islam Malaysia (IKIM).

Kecerdasan al-Attas tak henti setakat ini. Sebaleknya terus terserlah, apabila al-Attas mendaftar pengajian doktoral di bawah bimbingan A.J. Arberry dan Martin Lings. Tentu sekali, dua sarjana ini adalah nama besar dalam bidang penyelidikan Islam klasik. Arberry adalah intelektual unggul yang gigih menggali khazanah kesufian dan kesusasteraan di Persia, sehingga membawa nama Jalaluddin ar-Rumi menghiasi dunia kesusasteraan Barat. Manakala Lings, atau nama Islamnya, Abu Bakr Siraj Ad-Din adalah seorang sufi dan pengikut Frithjof Schuon, yang mempelopori aliran hikmah abadi. Bahkan, buku Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, penting dalam memotretkan kehidupan dan peranan Nabi besar Islam.

Di School of Oriental And African Studies, University of London ini, al-Attas memilih untuk menukik lagi kandungan pengetahuan yang terdapat di Acheh. Tapi, kali ini ia beralih kepada Hamzah pula, iaitu nemesis kepada Raniri. Umumnya, tesis ini membentangkan falsafah mistik Hamzah, selain dari memaparkan latar kehidupan serta pemikiran Hamzah. Di sini, al-Attas juga menganalisa beberapa konsep falsafah Hamzah, seperti iradah Allah, yang secara semantiknya dalam bahasa Melayu bermaksud kehendak Allah. Beberapa kritikan terhadap orientalis turut disebut al-Attas, khususnya pada John Doorenbos, sarjana dari Belanda. 


Bagi al-Attas lagi, beberapa penelitian Doorenbos sebelum ini tak memadai dalam melakarkan corak pemikiran Hamzah Fansuri. Ini kerana, Doorenbos sendiri tak menguasai struktur Bahasa Melayu Jawi dengan baik. Justeru, al-Attas melihat terdapat kesalahan terjemahan, atau pemilihan maksud, dalam penelitian Doorenbos. Menyedari hal itu, menerusi tesisnya ini, al-Attas memperbetulkan beberapa kesalahan Doorenbos, dan memaparkan hal yang lebih tepat.

Tapi memang, hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Akhirnya ternyata lebih baik negeri sendiri. Al-Attas sebaik tamat pengajian doktoralnya di London itu langsung pulang bertugas di tanahair. Pada 1965, UM, iaitu pada Bahagian Kesusateraan, Jabatan Pengajian Melayu, telah menerimanya sebagai salah seorang akademia. Meskipun agak giat dengan penyelidikan Islam klasik, namun bidang kesusasteraan bukanlah jauh darinya. Hakikatnya, melihat Acheh, bermakna melihat juga sastera, khususnya Bahasa Melayu tinggi. Sebab itu, Bahasa Melayu yang tinggi turut dikenali sebagai Bahasa Melayu Barus, sempena nama tempat Hamzah Fansuri. Pada 1968, al-Attas dinaikkan sebagai Dekan Fakulti Sastera, UM.

Dalam amanah tersebut, al-Attas telah melakukan reformasi terhadap sistem akademik, sekurang-kurangnya di tahap fakulti, supaya lebih terarah. Pada tahun yang sama juga, al-Attas menerbitkan karyanya, The Origin of the Malay Sha’ir (1968). Dalam buku ini, al-Attas menegaskan bahawa Hamzah adalah sosok pertama yang memulakan sha’ir Melayu. Ini senada dengan apa yang diungkapkan A.Teeuw, seorang sarjana besar tentang Indonesia dari Universiteit Leiden. Namun, tambah al-Attas lagi, antaranya dengan Teeuw ada perbezaan pedekatan, di mana Teeuw menurutnya cenderung memasukkan tanggapan peribadinya dalam rumusannya. Memang, dari satu hal, tindakan ini meluaskan gambaran Hamzah, cuma tak memperdalamkannya. Bagi al-Attas, Hamzah bukan saja peribadi bitara, sebaleknya, lebih jauh lagi, adalah anak Melayu yang pertama menulis tentang sufi secara tersusun. Menerusi keindahan bahasanya, khazanah Bahasa Melayu telah diperkaya dan diperkasakan. Banyak terminologi yang digunakannya Hamzah akhirnya menambah kosa-kata Melayu, lebih-lebih lagi dalam teologi, falsafah dan metafizik.

Buku berikutnya, al-Attas meluncurkan Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago (1969). Buku ini sebenarnya sudah dibayangkan Syed Nasir Ismail, Pengarah DBP ketika itu, ketika menulis kata pengantar The Origin of the Malay Sha’ir (1968). Menerusi telaah awal al-Attas ini, ada beberapa fakta menarik yang al-Attas diketengahkan. Semasa membentangkan kedatangan Islam ke kegugusan kepulauan Melayu, al-Attas mengariskan beberapa kemungkinan. Ini termasuklah, (1) ekoran hubungan perdagangan pesat di kepulauan Melayu, (2) akibat urusan perdagangan yang membawa kepada perkahwinan antara saudagar dengan penduduk tempatan, (3) lantaran petarungan Kristian dan Islam sampai membawa penyebaran Islam ke Alam Melayu, (4) kerana pengaruh politik kesultanan yang memeluk Islam, (5) kesan dari sifat Islam sebagai sebuah agama idealogi, serta (6) terdapat sumbangan golongan sufi.

Di samping itu, al-Attas turut menyebut beberapa peristiwa pengislaman yang berlaku di Alam Melayu, dari wilayah ke wilayah, termasuk dari Aceh, Champa hinggalah ke Ternete—yang masing-masing memiliki sejarah yang berbeza atau berkait. Malahan, al-Attas menyatakan bahawa setelah kedatangan Islam, maka ilmu di Alam Melayu mula bersemi menerusi ketamadunannya, dan pemartabatan bahasanya. Selain itu, al-Attas menegaskan kembali peranan Hamzah Fansuri, yang baginya tak harus dinafikan lagi sebagai Bapa Kesusasteraan Melayu.

Justeru, al-Attas menolak penobatan Munshi Abdullah sepertimana yang selalu dirujuk-rujuk. Ini kerana, Munshi sebenarnya adalah individu terakhir yang menulis dengan Bahasa Melayu Melaka, sedangkan Hamzah dengan Bahasa Melayu Barusnya, yang lebih banyak mengandungi ilmu besar-besar. Malah, tak seperti Munshi Abdullah, Hamzah turut menatijahkan sekolah pemikiran dan serata pengikutnya.

Meskipun begitu, al-Attas tetap mengakui bahawa di Sumatra pada abad ke-11 Masehi, sudah ada pengajian Buddha yang besar. Di bawah bimbingan Dharmakirti, muridnya, Atisha telah mereformasikan ajaran-ajaran Buddha di Tibet. Walaupun demikian, tegas al-Attas, tak pernah dicatatkan bahawa Melayu pernah melahirkan pemikir atau filsuf yang benar-benar hebat sebelum kedatangan Islam. Sebab itu, kata al-Attas lagi, Buddha yang datang dari India tetap saja gagal mengangkat pemikiran Melayu. Jelaslah, semangat berfikir, atau kerasionalan, hanya tampil ketara setelah Islam. Dan, sudah tentu lagi, al-Attas percaya bahawa Islam yang terkamir di Alam Melayu ini tak mungkin bermuasal dari India—secara sepenuhnya. Sebaleknya, Islam yang direkodkan secara rasmi pertama kali masuk ke Alam Melayu adalah melalui Aceh, pada abad ke-12, melalui wahana besar kalangan sufi.

Lebih khusus, al-Attas menamakan Sheikh Abdullah Arif, sebagai pendakwah Arab pertama yang dikenalpastinya. Manakala Hikayat Raja-Raja Pasai, yang ditulis pada 1204, banyak menjelaskan tanggapan al-Attas ini.

Pada 1970, al-Attas berhijrah ke Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), di mana kemudiannya dilantik sebagai ketua Jabatan Bahasa Melayu dan Kesustateraan, dan seterusnya menjadi Dekan Fakulti Sastera. Pada tahun 1970 juga, al-Attas menerusi Jabatan Muzium Negara menyiasat dan menulis mengenai prasasti Terengganu.

Akibat beberapa kesilapan serta kesamaran tarikh sebenar prasasti tersebut, al-Attas dengan segala kecerdasannya bahasa Melayu Jawi klasiknya, serta kemahiran hitungan falaknya, berjaya menentusahkan semula tarikh yang lebih wajar. Asalnya, pada 1899, prasasti ini ditemui Saiyed Husin bin Ghulam Al Bukhari iaitu seorang saudagar. 


Lantas, Saiyed Husin meminta orang kampung mengangkatnya ke atas rakit untuk dibawa ke Kuala Terengganu. Ketika sampai di Kuala Terengganu, batu ini di persembahkan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Sultan Zainal Abidin III dan kemudiannya diletakkan di atas Bukit Puteri. Namun, pada tahun 1922 Timbalan Penasihat Inggeris di Terengganu Encik H.S. Peterson meminta seorang jurufoto berbangsa Jepun, N. Suzuki mengambil gambar dan dihantar kepada C.O. Blegden untuk dibuat pembacaan. Batu itu telah patah sebahagiannya, di sebelah atasnya dan ditulis di dalam Bahasa Melayu bertulisan jawi bertarikh 702 Hijrah.

Pada 1924, masing-masing, Paterson dan Blagden cuba untuk menentusahkan tarikh prasasti tersebut ditulis, seperti yang dipaparkan menerusi Journal of The Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. Namun, itu maseh lagi kusut. Lantas, lama setelah itu, al-Attas dengan kesempatan dan kemahiran yang ada, merumuskan tarikhnya iaitu 22 Februari 1303M. Rumusannya ini disempurnakan dalam The Correct Date of the Terengganu Inscription (1970). Tarikh baru yang dikemukakannya ini juga sekaligus menamatkan teka-teki lama mengenai prasasti Terengganu tersebut—yang ditemui separuh tenggelam selepas surutnya banjir di tebing Sungai Tersat di Kuala Berang, Hulu Terengganu. Ini sekaligus memberi maklumat tepat mengenai kehadhiran Islam di Semenanjung Tanah Melayu, khususnya di Terengganu.

Setahun kemudian, tulisannya iaitu Concluding Postscript to the Origin of the Malay Sha’ir (1971) diterbitkan DBP sebagai penekanan tambahan daripada bukunya sebelum itu, The Origin of the Malay Sha’ir (1968). Judul bukul yang mirip Concluding Unscientific Postscript-nya Søren Kierkegaard itu mempertahankan Hamzah Fansuri dari keraguan yang dilemparkan P. Voorhoeve, sepertimana yang tercatat dalam Nota-nya, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 124 (1968). Voorhoeve seperti yang diungkapkan al-Attas, cuba menafikan peranan Hamzah sebagai pelopor sha’ir Melayu.

Bagi Voorhoeve lagi, pandangan tersebut hanyalah sebuah hipotesis, tanpa lampiran bukti kukuh. Voorhoeve turut menyatakan bahawa Ikat-Ikatan ‘Ilmu’l-Nisa itu bukanlah tulisan asal Hamzah. Sebab, jelas sekali, kata Voorhoeve, tiada nama Hamzah tercantum pada pengarang kitab lama tersebut. Walau bagaimanapun, al-Attas berpendirian sebaleknya. Jelasnya, “karya yang tak disebut nama Hamzah sebagai pengarang bukanlah bererti itu bukan karya Hamzah.” Ini kerana, hurai al-Attas lagi, terdapat beberapa sha’irnya yang lain juga tak mencatatkan nama Hamzah, namun akhirnya kita tahu bahawa itu memang karya asli Hamzah Fansuri.

Tapi, soalnya, bagaimana kita mendapat tahu?

Kita tahu, rinci al-Attas, kerana dalam setiap bahasa Hamzah Fansuri terdapat keselarasan bahasa, keindahan ayatnya, kemolekan pilihan katanya, dan kecairan ungkapan metaforanya—yang rata-ratanya memikat. Hatta, kalau kita menyorot himpunan Doorenbos dalam De Geschriften van Hamzah Pansoeri (1933), kita juga dapat merasainya semua kesepaduan tersebut. Sungguhpun begitu, dalam banyak sisi, al-Attas ternyata tak senang dengan suntingan Doorenbos, yang baginya seperti Coleridge menafsir Immanuel Kant. Malah, lanjut al-Attas lagi, tak pernah diketahui adanya penyair Alam Melayu yang sarat menggunakan perumpamaan laut dalam karya-karyanya, selain dari Hamzah Fansuri. Maka, tak hairanlah, tegas al-Attas, Ikat-Ikatan ‘Ilmu’l-Nisa turut dikenali dengan nama lain sebagai Bahr al-Nisa.

Sesudah Rangkaian Ruba’iyyat (1959) yang pertama ditulis dalam Bahasa Melayu, pada 1972, al-Attas menjadi akademia pertama menyampaikan syarahan perdana di UKM, juga dalam Bahasa Melayu. Menerusi tajuk, ”Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1972),” al-Attas mengemukakan gagasan mengenai peranan Islam di Alam Melayu. Dalam syarahan keprofesoran sulung UKM itu, al-Attas mencitrakan Islam dalam pembinaan bangsa Melayu yang sebelum itu, yang katanya, tak pernah menikmati ketamadunan, dan tak pernah melahirkan pemikir-pemikir bermakna.

Mudahnya, Melayu bermula dari Islam. Bentuk dan gaya pengucapan al-Attas ketika syarahan tak lekang disebut-sebut istimewa lantaran keampuhan dan keupayaan Bahasa Melayu-nya. Teksnya ini semakin mengesahkan kemampuan dan keindahan Bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa Islam. Kebetulan dengan semangat penubuhan UKM, al-Attas menyeru Bahasa Melayu mestilah diangkat sebagai bahasa ilmu, sekaligus menanam keyakinan sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Sebuah bangsa besar, atau sebuah bangsa yang ingin dihormati, pada al-Attas, haruslah membangun nilai-nilainya yang tersendiri, termasuklah bahasanya. Justeru, al-Attas melihat Bahasa Melayu sebagai sebuah bahasa yang terwarna dengan Islam, di mana aksara Arab dapat tersuai. Al-Attas memang prihatin dengan persoalan Bahasa Melayu, lantaran jiwa sejak dininya yang dekat dengan kesusasteraannya. Semenjak 1968, al-Attas telah memainkan peranan penting dalam merencanakan dan menjulang harakat Bahasa Melayu dalam pembentukan bangsa menerusi beberapa siri debatnya dengan para politikus.

Malah diketahui, al-Attas pernah menyertai Parti Gerakan Rakyat Malaysia (Gerakan), yang antaranya diasaskan oleh abangnya sendiri, Syed Hussein al-Attas. Hasil dari kesungguhan ilmiah al-Attas, Bahasa Melayu berjaya diangkat sebagai bahasa rasmi Malaysia. Ada anekdot bahawa al-Attas pernah bertengkar dengan Tun Abdul Razak tentang persoalan bahasa. Pada waktu itu Tun Abdul Razak, yang waktu itu merupakan Perdana Menteri Malaysia. Ketika musyawarah senat universiti, al-Attas mencadangkan logo UKM yang melekatkan frasa, ”rabbi zidni 'ilma.”

Tapi usul tersebut ditolak Tun Abdul Razak yang ketika itu mempengerusikan majlis. Alasannya, itu frasa Bahasa Arab, bukannya frasa Bahasa Melayu. Menurut Tun Abdul Razak lagi, frasa yang lebih sesuai ialah ”ilmu memimpin.” Mendengar hujah Tun Abdul Razak tersebut, al-Attas lalu membalas, ”ilmu tak memimpin. Sebaliknya, Allah-lah yang memimpin ilmu” Malah, tambah al-Attas lagi, ”jika mahu istilah-istilah Arab dibuang dari Bahasa Melayu, maka nama Abdul Razak juga harus dibuang sama sekali.” Ternyata benar, saat itu, ilmu memang tak memimpin. Sebab, sudahnya usulan al-Attas itu ditolak mentah. Tapi, UKM tetap menaruh kepercayaan pada bahunya.

Ketika 1 Disember 1972, UKM melantik al-Attas sebagai pengasas-pengarah bagi Institut Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu (IBKKM). Dengan amanah ini, IBKKM berperanan untuk melakukan penyelidikan mengenai Melayu. Kini, iaitu semenjak tahun 1992, IBKKM bertukar nama menjadi Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA)—dengan harapan untuk meluaskan daerah kajian kepada Alam dan Tamadun Melayu. Malah, status IBKKM sebagai institut yang berbeza dengan fungsi fakulti, turut menjadi model kepada kemunculan beberapa institut lain di UKM, dalam bidang-bidang yang berbeza.

Kemudian, pada 1973, al-Attas mula melisankan pandangannya mengenai umat Islam. Asal kepada monograf ini adalah kata-katanya di IBKKM, yang ditranskrip dan disunting kembali olehnya, sebelum diterbitkan lama setelah itu, iaitu pada 2001 oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Monograf tersebut kemudian dikenali Risalah Kaum Muslimin (2001). Dalam buku tersebut juga, al-Attas bukan saja menunjukkan beberapa kekeliruan umat Islam dalam memahami makna-makna agama, tapi turut menyatakan kegagalan Muslim untuk keluar dari belenggu tersebut. Ini jelas terluruh dalam sha’irnya:


Muslim tergenggam belenggu kafir
Akhirat luput, dunia terciri
Budaya jahil luas membanjir
banyak yang karam tiada tertaksir


Barus dan Singkel, Pasai dan Ranir
silam ditelan masa nan mungkir
lupa jawaban dihafal mahir
bagi menyangkal mungkar dan nangkir


Menerusi satah tradisional, al-Attas secara konsisten menawarkan Islam yang bersifat kebelakaan, dan memaknai agama, budaya, keadilan, perababan, akhlak dalam konteks yang benar—yang mana ini sememangnya terpisah dari makna-makna yang difahami dalam kerangka Barat. Jadi, lantaran kejahilan Muslim dalam memahami tasawwur Islam akhirnya mencetuskan kemelut-kemelut yang lain, termasuklah terbelenggu dengan pandangan orientalis dan penjajahan.

Sebab itu, bagi al-attas, “persoalan kita bukanlah pada kurangnya sumber-sumber kewangan, kebendaan, keruhanian, dan intelektual, melainkan yang lebih penting adalah keengganan kita untuk meletakkan setiap sumber yang kita miliki pada tempatnya yang benar dan tepat.” Takrif “meletakkan sesuatu pada tempatnya,” ini sebenarnya adalah takrif yang dikemukakan al-Attas pada makna adalah, atau keadilan.

Tak semua kajian orientalis adil dan tepat. Al-Attas mencungkil kesalahan-kesalahan orientalis menerusi bukunya, Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjatu’l-Siddiq: A Refutation (1975). Dalam buku hangat tersebut, al-Attas memberi reaksi kritis kepada makalah G.W.J. Drewes, Nur al-Din Al-Raniri’s Hujjat al-Siddiq li-daf’ al-Zindiq, Re-examined (1974) yang termuat dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.

Pada al-Attas, makalah Drewes yang juga Professor Pengajian Islam di Universiteit Leiden itu menarik perhatiannya bukan saja kerana terdapat unsur-unsur kritikan khusus pada kerja intelektualnya, Raniri and the Wujudiyyah of 17th century Acheh (1966), tapi juga bertujuan untuk mempertahankan Raniri sebagai pengarang asal Hujjat al-Siddiq li-daf’ al-Zindiq. Raniri sebagai pemikir tradisional Islam, memang wajar dipertahankan. Usaha ini juga selari dengan semangat al-Quran—yang menganjurkan tradisi radd dan sharh. Dalam tema yang sama juga, al-Attas lebih sepuloh tahun kemudian menambah lagi khazanahnya mengenai Nurddin al-Raniri dengan mengulas secara rinci teks besar tokoh sufi ini, Hujjat al-Siddiq. Bukunya yang bertajuk, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri (1985), itu diterbitkan menerusi Kementerian kebudayaan, Malaysia.

Pada 1976, al-Attas menyampaikan syarahan pada Muktamar Islam Antrabangsa anjuran Majlis Islam Eropah di London. Dalam syarahan tersebut, al-Attas meluahkan pandangannya mengenai Islam dalam perspektif agama dan akhlak. Syarahan yang berjudul Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality (1976) itu kemudiannya diterjemahkan al-Attas sendiri dalam Bahasa Melayu dengan tajuk, Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak (1977). Di sana, al-Attas, melukiskan makna din yang lebih menyeluruh dan tebal pengertian falsafahnya. Ini kerana, menurut al-Attas, din itu merujuk kepada insan yang dalam (1) keadaan berhutang, (2) pasrah, (3) punya daya-kuasa hukuman dan (4) ada bawaan kencenderungan. Melalui rincian falsafah ini, al-Attas menerangkan apa yang dimaksudkannya faham hakiki din tersebut.

Di samping itu juga, al-Attas memerikan kebudayaan barat ibarat dewa Sisyphus, yang demi menahan rasa keputus-asaan, maka telah menaruh harapan semata-mata pada sangkaan nasib baiknya. Biarpun begitu, sebenarnya, kata al-Attas, dewa Sisyphus sendiri tak senang dengan keadaan demikian. Tapi, itulah makna ilmu dalam konteks faham Barat, iaitu—ibarat sebuah pergelutan abadi dewa Sisyphus dengan sebuah batu besar, yang digiling naik dan didorong jatuh, terus-menerus tanpa sebarang kesudahan. Sebab itu, ungkap al-Attas lagi, tak hairanlah tragedi Sisyphus ini disanjung tinggi dalam faham kebudayaan Barat. Bahkan, Barat lebih jauh melihat bahawa tragedi tersebut adalah sepadan dengan nilai-nilai agung dalam drama kehidupan insan.

Namun, Islam adalah sebaliknya. Islam, seperti kata al-Attas, memisahkan ilmu antara yang haq dan bathil. Ilmu, dalam makna yang diberi al-Attas, adalah ketibaan makna dalam diri. Dan, hujungnya, pada insan jugalah yang menentukan sesuatu ilmu itu haq atau bathil, dan disahkan menerusi hasilnya. Sebab itu, al-Attas percaya bahawa cabaran terbesar muslim bukannya kejahilan dalam takrif yang bercanggah dengan keilmuan, namun pada ilmu yang sudah tersebati dengan kebudayaan barat, yang bercampur asal-usulnya, yang disumbat dengan bermacam tafsiran. Justeru, tegas al-Attas, ilmu itu pasti tak bebas-nilai, dan sentiasa boleh dipengaruhi subjek sehingga melahirkan beragam weltanschuung.

Kalau menurut Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Atas: an expositions of the original concept of Islamizations (1998), kenyataan al-Attas bahawa ilmu itu tak bebas-nilai barangkali yang pertama terdengar dari seorang pemikir Muslim, meskipun di Barat pandangan ini sudah dikumandangkan Oswald Spengler dalam Der Untergang des Abendlandes (1918).

Ketika lewat 1970-an, suasana pada masatu mula semarak dengan kebangkitan Islam sejagat. Sala satu kemuncaknya telah menorehkan revolusi di Iran. Sebenarnya, Iran bukanlah asing bagi al-Attas. Atas usulan Nasr, al-Attas pada 1975 telah menerima anugerah dari Imperial Iranian Academy of Philosophy berikutan sumbangannya dalam falsafah bandingan. Pengiktirafan ini meletakkannya sebaris dengan anggota yayasan yang lain, yang juga antaranya teman-temannya di Montreal, seperti Nasr, Izutshu, dan juga Henry Corbin. Namun, dalam kemengkalan kebangkitan Islam tersebut, dan tempias dari bahang Ikhwanul Muslimin dan Jami’at Islami—sama ada dari pengaruh Abul A’la Mawdudi, mahupun dari jalur Hassan al-Banna ataupun Syed Qutb—al-Attas menyambutnya dengan Islam and Secularism (1977).

Buku yang diterbitkan oleh sebuah gerakan Islam di Malaysia, Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) itu telah menarik perhatian intelektual, biarpun lazimnya gerakan Islam lebih terkekang dengan persoalan politik semata. Al-Attas menulis dengan membawa jalan keluar yang bertenaga. Meskipun, satu bab dari buku ini tersari dalam tulisan sebelumnya, Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethnics and Morality, tapi keseluruhan buku ini jelas menunjukkan keprihatinan al-Attas terhadap projek pembaratan, yang mana ini mahu disalin dalam pengalaman Islam pula. Buku ini barangkali adalah magnus opus-nya. Di sini, al-Attas berbicara mengenai susur-galur sekularisme dan kritik falsafah terhadapnya, serta memaparkan kelemahan sekularisme dari sudut maknanya sendiri yang, kata al-Attas lagi, hanya terbatas dalam konteks ruang dan waktu tertentu. 


Bagi al-Attas, faham yang barat percayai bahawa akar sekularisasi ditarik dari kepercayaan Bible adalah keliru sama sekali. Sebab, kekeliruan ini muncul ekoran kegagalan Barat untuk menafsir jernih kandungan Bible. Justeru, berlakulah pertarungan antara akal dan Bible yang kemudiannya membentur weltanschuung dalam pemikiran khalayak barat.

Demikan juga Al-Attas tak senang dengan makna yang diusung sekularisasi. Baginya, sekularisasi ini akhirnya akan menyurihkan sekularisasisme juga. Sekularisme dan sekularisasi memiliki persamaan—iaitu bernisbi pada sejarah yang sekular. Jadi, Muslim tak sewajarnya terpengaruh dengan turut mengosongkan nilai-nilai ruhani dari alam tabi’i—seperti mana yang tersaksi di barat. Ini kerana, konsep ini berlawanan dengan konsep weltanchuung Islam. Mithalnya, al-Qur’an memakmurkan alam semesta sebagai manifestasi zahir ataupun bathin dari Tuhan.

Begitu juga, manusia diutuskan sebagai khalifah. Tapi, ini tak bermaksud manusia adalah rakan kongsi Allah dalam penciptaan. Jadi, keberadaan manusia mestilah seirama dengan kehendak Tuhan, sebagai pencipta semesta alam. Tapi, kemudiannya, sekularisasi hadhir mengugat keharmonian tersebut. Akhirnya, alam tak mendapat keadilan. Hubungan simbiotik manusia dan alam lalu musnah ekoran kezaliman. Selalu saja, alam menjadi korban atas nama sains dan penyelidikan. Jadi, sekularisasi telah menjadikan manusia ‘menuhankan dirinya.’

Ini semua jelas bertentangan dengan wawasan Islam. Sekalipun Islam di satu ketika mengosongkan nilai-nilai kepercayaan tahyul dari alam, namun tindakan ini tak bermakna Islam turut mengosongkan sepenuhnya alam dari nilai-nilai ruhani. Islam mengosongkan alam dari nilai-nilai tersebut dan mengisinya dengan nilai-nilai dan kesedaran Islam. Gagasan al-Attas mengenai ancaman sekularisme ini tak mati pada Islam and Secularism (1977) saja. Beberapa tahun kemudian, al-Attas memantapkan lagi pandangannya mengenai hal yang sama dalam Islam, Secularism and The Philosophy of the Future (1985).

Pada tahun 1977 juga, al-Attas diminta menyampaikan pandangannya di Makkah al-Mukarramah sewaktu persidangan anjuran King Abdulaziz University berkenaan pendidikan Islam. Di sini, al-Attas pertama kali mengemukakan gagasan “pengislaman ilmu” yang kemudiannya menjadi polemik besar antaranya dengan Ismail al-Faruqi. pengasas International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Kadang-kala, khalayak juga terkeliru antara pemikiran al-Attas dengan Nasr. Walaupun Nasr tak menggunakan kata pengislaman, namun idea Sains Islam sering disekutukan padanya. Kegigihan Nasr ini terlihat dalam tesis PhD-nya di Havard University, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964). Sebaleknya Al-Attas sentiasa bertegas bahawa istilah pengislaman ilmu adalah pertama kali digunanya—ketika persidangan di Makkah al-Mukarramah itu—sebelum bercambah penggunaannya di kalangan sarjana-sarjana yang lain. Ini dapat disemak menerusi Aims and Objectives of Islamic Education (1979), yang melampirkan beberapa makalah terpilih pada seminar julung kali tersebut, yang khusus mengenai pendidikan.

Selain gagasannya mengenai pengislaman ilmu, dalam makalahnya yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education itu, al-Attas menerangkan tentang kepentingan adab dan konsep universiti Islam. Baginya, universiti Islam tak harus sama dengan makna universiti Barat. Universiti Islam sepatutnya bermatlamat untuk melahirkan insan kamil, meliputi segala aspek—dari nalar hinggalah kepada akhlak.

Dengan mengulang kembali peri-pentingnya faham ilmu, al-Attas menakrifkan pengislaman sebagai “pembebasan manusia, pertamanya daripada tradisi tahyul, mitos, animis, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan bahasa daripada pengaruh sekularisme.” Sebab itu, jelas al-Attas, pengislaman adalah merangkumi pembebasan diri dan pengembalian diri kepada kejadian asalnya, menuju kepada fitrah. Teladan dari Nabi adalah ustawatun hasanah terbaik dalam hal ini. Lantas, langkah pertama pengislaman ialah berdasarkan akal dan pemikiran menerusi pengislaman bahasa. Bahasa Arab, mengikut beliau telah diislamkan al-Qur’an sampai merubah weltanschuung umat Arab-Islam, berbanding dengan Arab-Jahiliah.

Inilah yang turut berlaku dalam Alam Melayu seperti pandangan al-Attas dalam syarahan perdananya di UKM sebelum itu. Nampaknya, gagasan pengislaman ilmunya ini disahut dari kalangan akademia tanahairnya. Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI), yang terdiri dari saintis Islam di Malaysia waktu itu, yang kebanyakannya adalah lulusan doktorat dari luar negeri, ditubuhkan bagi memenuhi hasrat pengislaman ilmu. Hasrat yang digariskan ASASI ialah untuk mendukung kesepaduan ilmu. Wawasan ini jelas menghimbau sosok ilmuan Islam silam, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, at-Thusi, dll, yang menghiasi peribadi mereka dengan beragam pengetahuan. Inilah yang juga disebut sebagai ilmuan polymath.

Jadi, dengan hasrat tersebut, ASASI cuba menghidupkan semula tradisi sains berasaskan al-Qur’an—dalam semua segi terutamanya berkaitan kajian alam tabii. Justeru, dengan itu, sebarang penyelidikan sains adalah tak memisahkannya hubungannya dengan falsafah sains Islam dan anjuran akhlak. Bagi mengenang sumbangan pemikiran al-Attas dalam pemikiran dan pendidikan Islam tersebut, ASASI telah membariskannya sebagai anggota kehormat pertubuhan tersebut. Dalam soal pendidikan Islam juga, al-Attas turut menulis The Concept of Education in Islam (1980), yang asalnya adalah prosiding Second World Conference on Muslim Education pada 1980. Persidangan yang dianjurkan Quaid-i Azam University, Islamabad, Pakistan ini adalah huraian lanjutnya mengenai makalahnya sebelum itu.

Di sini, al-Attas menghurai beberapa konsep yang terdapat dalam agama—sesuatu yang memang menjadi perbicaraan lazimnya—jdi samping juga berbicara tentang bingkai falsafah pendidikan Islam, dan kaedah penyelidikan saintifik, serta pengislaman bahasa dan lain-lain lagi.

Pada 1988, al-Attas melengkap kajian mengenai kajian ‘Aqaid an-Nasafi, sebuah manuskrip yang dipercayainya tertua di Alam Melayu. Manuskrip ini mengatasi ketuaan beberapa manuskrip yang diperkenalkan sebelum itu. Ini termasuklah manuskrip yang direkodkan Ph. S. Van Ronkel pada 1896 dan W.G. Shellabear pada 1898. Kebanyakan manuskrip-manuskrip ini tersimpan di Bodleian Library, Cambridge University Library, Muzium British dan Leiden University Library. Mithalnya, Shellabear mencatatkan di Bodleian Library terdapat salinan surat—yang dipercayainya disalin di Eropah—dari Sultan Acheh kepada Queen Elizabeth yang bertarikh 1602M.

Di sana juga terdapat surat, perakuan kebenaran Sultan’Ala al-Din Shah dari Acheh kepada Kepten Henry Middleton untuk melakukan perdagangan di kawasan taklukannya. Begitu juga surat dari Sultan Aceh kepada King James, England yang bertarikh 1612M. Tampak, semua manuskrip ini adalah pada abad ke-17. Manakala van Ronkel pula menyelidik manuskrip yang dimiliki sarjana Belanda, Thomas Erpenius yang tersimpan di Cambridgre University Library. Dan, seperti yang dilaporkan Shellabear, manuskrip-manuskrip terjemahan tersebut dikatakan ditulis sekitar abad ke-17.

Memang ada beberapa manuskrip, yang merupakan terjemahan dari beberapa karya Arab, seperti Burdah oleh Sharaf al-Din Muhammad ibn Sa’id al-Busiri, dan sebahagian Qasidah al-Lamiyayah fi al-Tawhid oleh Siraj al-Din ‘Ali ibn ‘Uthmani al-Ushi, yang juga terkenal sebaga Bad’ al-Amali. Menurut Drewes dalam Een 16de Euwse Maleise Vertaling van de Burda van al-Busiri (1955), manuskrip itu, terutamanya Burdah dipercayai diterjemah pada lewat abad ke-16. Tapi, tegas al-Attas, dakwaan tersebut tak dapat diterima sama sekali kerana manuskrip itu sendiri tak bertarikh, dan tak ada tanda sejarah yang dapat mengesahkannya.

Ini kerana, sehingga abad ke-16, tiada manuskrip yang diketahui bertarikh, melainkan ‘Aqaid an-Nasafi. Kitab ini, adalah milik Ungku Abdul Aziz Abdul Hamid, sepupunya, yang juga Naib Canselor UM, yang pada 1984 memohon bantuannya untuk diselidik tarikh dan pengarangnya. ‘Aqaid an-Nasafi berupa kitab aqidah asalnya ditulis Umar Abu Hafs, dari Nasafi. Hasil penyelidikannya ini dimuatkan al-Attas dalam, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of al-Nasafi (1988).

Pada 1987 hingga 2002, boleh dikatakan al-Attas berada dalam fasa yang tersendiri. Dengan dukungan kerajaan Malaysia ketika itu, al-Attas diberi amanah mengalas sebuah institut antarabangsa yang menekankan pemikiran Islam. Justeru, pada 1987, lahirlah International Institute of Islamic Thought and Civilization atau akronimnya ISTAC. Menerusi institusi ini, al-Attas mengembangkan ilmunya dalam bentuk yang lebih prestij lagi. ISTAC dibawah Al-Attas, sebagai pengasas-pengarah pertama, telah terhablur sebagai medan kajian keislaman sejagat, khususnya dari pemikiran Hujjatul Islam Imam al-Ghazali.

Sepanjangnya di ISTAC juga, budaya ilmu terukir kemas. Wan Mohd Nor Wan Daud, yang juga mantan Timbalan Pengarah ISTAC menghimbau kembali saat-saat kegemilangan ISTAC menerusi bukunya, Budaya Ilmu: Suatu Penjelasan (2007) yang diterbitkan Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapura. Dalam buku tersebut, Wan Mohd Nor berkongsi beberapa pengamatan dan pengalamannya sepanjang berkhidmat di ISTAC, yang baginya sesuatu yang amat bernilai sekali. Malahan, dalam bukunya yang lain, Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Atas: an expositions of the original concept of Islamizations (1998), Wan Mohd Nor melapangkan waktunya menulis tentang konsep pendidikan Islam menurut pandangan al-Attas. Sering dikatakan, karya Wan Mohd Nor ini adalah rujukan sekunder terbaik langsung mengenai al-Attas.

Jadi, ISTAC, dengan pukauan senibina rekaan asli al-Attas, kemudiannya berkembang dengan pengisian-pengisian yang bukan saja nostalgik, tapi juga memang menginspirasikan. Nostalgia, kerana ukirannya mengingatkan kita pada Alhambra dan lain-lain tradisi senibina Islam, sementara inspiratif kerana kandungan ilmu yang diturunkan di ISTAC benar-benar berbeza dengan kebanyakan institusi Islam lain.

Hampir seluruh budaya ilmunya, termasuklah tenaga akademianya, musyawarahnya, aktiviti mingguan syarahan malam sabtu-nya, perpustakaan dan penerbitannya, semuanya ini mempersonakan bagi setiap mereka yang berkunjung dan menuntut di ISTAC. Menerusi institusi yang bernaung secara autonomi di bawah Universiti Islam Antarabangsa (UIA) ini, mimpi untuk menjelmakan kembali zaman keemasan intelektual Islam seakan dapat dipetik. Anwar Ibrahim, yang juga Pengerusi ISTAC pada saat menganugerahkan kursi sepanjang-hayat Imam Al-Ghazzali pada al-Attas melukiskan harapannya agar Kuala Lumpur kelak berdiri sebaris dengan Melaka, Acheh, dan Ampel sebagai sebuah kota ilmu.

Sepanjang lebih sedekad di ISTAC, al-Attas sedayanya menerjemahkan harapan ini dengan sebaik-baiknya. Beberapa syarahannya, yang kemudian dimakalah dan dibukukan, menjadi bukti atas kesungguhan tersebut. Ini termasuklah Islam and the Philosophy of Science (1989), The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (1990), On Quiddity and Essence (1990), The Intuition of Existence (1990), Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality (1992), The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993), dan The Degrees of Existence (1994). Makalah-makalah ini akhirnya terhimpun dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995) yang rata-ratanya adalah kupasan kefalsafahan, teruamanya berkaitan aspek-aspek metafizik dalam Islam.

Namun, malangnya, hasrat besar ISTAC ini berdiri tak lama. Nafas kegemilangannya terhenti. Barangkali rentetan dari kegawatan politik tanahair pada 1998, yang menyaksikan gelombang reformasi ekoran penyingkaran Anwar Ibrahim dari tampuk kekuasaan kerajaan, maka tempiasnya turut sama melanda ISTAC. Apatah lagi, al-Attas memang diketahui agak dekat dengan Anwar Ibrahim.

Jadi, pada 2002, al-Attas tersingkir sekali dari ISTAC, dan segala kemudahan dan jawatannya ditarik balik. Bahkan, kursi seumur hidup al-Ghazzali sandangannya juga dinafikan. Memang nasib akademia tak mungkin dihargai dalam sebuah negara yang tak merasai ketibaan makna. Pada saat itu, di ambang usia mencecah tiga suku abad, semangat mempertahankan kebenaran al-Attas sebenarnya maseh sekental ilmunya. Lalu, al-Attas membawa perkara ini ke mahkamah. Tapi, proses perbicaraan ini memamah waktu. Akhirnya, pada 2008, al-Attas dan UIA selaku badan yang menaungi ISTAC bersetuju untuk membuat kesepakatan penyelesaian di luar mahkamah.

Akhir-akhir ini, memang kesihatannya al-Attas tak berapa baik. Namun, dalam segenap keuzuran dan seluruh kepayahan tersebut, intelektual al-Attas maseh cerdas. Terkini, pada tahun 2007, al-Attas menulis dua buah bukunya. Pertama, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (2007) yang diterbitkan Universiti Sains Malaysia (USM) dan buku kedua ditulis bersama rakan dekatnya, Wan Mohd Nor Wan Daud dengan tajuk, The ICLIF Leadership Competency Model: An Islamic Perspective (2007) terbitan International Center for Leadership and Finance (ICLIF). Sehingga kini, karya-karya al-Attas sering mendapat rujukan dalam kajian keislaman, khususnya bila berkaitan Asia Tenggara.

Beberapa buah bukunya tersebar dan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, seperti Arab, Turki, Persia, Urdu, India, Malayalam, Indonesia, Bosnia, dan Albania. Seluruh karya-karyanya ini mengungkapkan diri al-Attas sebagai seorang intelektual yang maseh tak tertandingi, sekurang-kurangnya di Malaysia. Keberanian meralat orientalis, kegigihannya berkarya, kepandaian memilih perkataan, keghairahannya menyelidik, serta ketajaman fikirannya, semua itu melengkapkan dirinya sebagai seorang yang harus dihargai dalam rakaman sejarah intelektual Malaysia. Sebab itu, Jennifer Webb tak segan-segan mengolongkan al-Attas sebagai satu-satunya pemikir Muslim dalam Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002).

Pada Disember 2009, Himpunan Keilmuwan Muslim atau HAKIM (dulu dikenali sebagai Himpunan Keilmuwan Muda) dan Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia (PKPIM) menganjurkan Seminar Sehari Pandangan Alam Islam dan Syarahan Perdana Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas bertempat di Institut Integriti Malaysia (IIM). Ribuan ilmuwan, mahasiswa, tokoh dan mereka yang begitu menunggu-nunggu saat dapat mendengar semula untaian mutiara kata al-Attas menghadiri program tersebut.
Malah, sebuah karya himpunan esei sebagai tanda penghargaan (Festschrift) kepada al-Attas diterbitkan pada tahun 2010 oleh Universiti Teknologi Malaysia di bawah pimpinan Naib Chancelornya, Prof. Dr. Ir. Zaini Ujang. Buku ini diberi tajuk “KNOWLEDGE, LANGUAGE, THOUGHT AND THE CIVILIZATION OF ISLAM: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib al-Attas” diedit oleh dua orang teman rapat dan anak murid beliau, Prof Dr Wan Mohd Nor Wan Daud dan Prof Madya Zainy Uthman. Pada awal tahun 2010, majlis pelancaran buku tersebut dan wacana mengenainya diadakan anjuran UTM.

Penghujung tahun 2010, Himpunan Keilmuwan Muslim (HAKIM) di bawah pimpinan Dr. Mohd Farid Mohd Shahran sekali lagi menganjurkan sebuah kolokium bertajuk ‘Islam & Sekularism’ di Akademi MAS Kelana Jaya yang juga menampilkan sekali lagi al-Attas sebagai pengucaptama. Sejak itu, al-Attas dilihat semakin aktif dan bersemangat dalam menyampaikan syarahan di khalayak. Beliau turut beberapa kali menyampaikan syarahan di USM sebagai pemegang Kerusi Pemikiran al-Ghazali USM dan beberapa kali menyampaikan syarahan di luar negara.

Tahun 2011, al-Attas dianugerahi Darjah Kebesaran Persekutuan Tahun 2011 sempena sambutan ulang tahun Hari Keputeraan Rasmi Yang di-Pertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin. Beliau menerima anugerah Panglima Setia Mahkota (P.S.M) yang membawa gelaran “Tan Sri”. Beliau juga dianugerahkan Tokoh Melayu Terbilang 2011 pada  tahun yang sama. Tahun yang sama juga, al-Attas Berjaya menyiapkan sebuah karya istimewa mengenai metodologi penelitian sejarah dan Islam di Asia Tenggara, yang tentunya dinanti-nantikan oleh kalangan khalayak yang terpilih. Buku tersebut bertajuk Historical Fact and Fiction (2011) terbitan UTM. Majlis pelancaran dan wacana mengenainya diadakan pada 09hb September 2011 di UTM kampus Antarabangsa (Jln Semarak, KL).


Karya terkini: Historical Fact & Fiction


Damai seorang intelektual sejati terdekam dalam diri. Tak hairan, mengenang saja al-Attas, mungkin menghimbau kita pada rangkap Umar Khayyam yang diterjemahkan al-Attas sendiri dari bahasa Farsi. Ini jelas tersemat dalam Rangkaian Ruba’iyyat (1959):


Khurshidh kamand-I subh bar bain afgand
kaikhusrav-I ruz muhra dar jam afgand
maikhur ki nida-yi hangam-I sahar
avaza-yi ishrabu dar aiyam afgand

Mentari telah menyauk bumbung dengan sinaran Pagi
Sang Siang telah melemparkan baru kerikil ke dalam cawan
Minumlah anggur, kerana permakluman cinta di waktu subuh
Seruan minum kamu! Pada tiap hari telah disebarkan.



Bacaan lanjut:

Syed Muhammad Naquib al-Attas (1953) Rangkaian Ruba'iyat (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).
___________(1963) Some Aspects of Sufism as Understood and Practised among the Malays (Singapore: Malaysian Sociological Research Institute).
___________ (1969) Raniri and the Wujudiyyah of the 17th Century Acheh (Kuala Lumpur: Monographs of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society).
___________ (1970) The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press).
___________ (1970) The Correct Date of the Terengganu Inscription (Kuala Lumpur: Museum Department).
___________ (1972) Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka).
___________ (1975) Comments on the Re-Examination of Al-Raniri’s Hujjatu’l Siddiq: A Refutation (Kuala Lumpur: Museum Department).
___________ (1978) Islam and Secularism (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM); reprint, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993).
___________ (1980) The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM); reprint, Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).
___________ (1986) A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri: Being an Exposition the Salient Points of Distinction between the Positions of the Theologians, the Philosophers, the Sufis and the Pseudo-Sufis on the Ontological Relationship between God and the World and Related Questions (Kuala Lumpur: Malaysian Ministry of Culture).
___________ (1988) The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the `Aqa’id of al-Nasafi (Kuala Lumpur: University of Malaya).
___________ (1989) Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)) (tr. into German by Christoph Marcinkowski as Islam und die Grundlagen von Wissenschaft, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)
___________ (1990) The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).
___________ (1990) On Quiddity and Essence (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).
___________ (1990) The Intuition of Existence (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).
___________ (1992) Islam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Morality (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).
___________ (1993) The Meaning and Experience of Happiness in Islam (tr. into Malay by Muhammad Zainiy 'Uthman as Ma'na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, Kuala Lumpur: ISTAC; and into German by Christoph Marcinkowski as Die Bedeutung und das Erleben von Glückseligkeit im Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1998)
___________ (1994) The Degrees of Existence
___________ (1995) Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).
___________ (2001) Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC)).
___________ (2007) Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Penang, Malaysia: Universiti Sains Malaysia).
___________ (2011) Historical Fact and Fiction (Kuala Lumpur, Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia).


[Makalah ini asalnya dalam Bahasa Indonesia, dan pertama kali termuat dalam "Ahmad Suaedy & Raja Juli Antoni (Ed). 2009. Para Pembaharu: Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara. Jakarta: SEAMUS."]


(artikel ini dipetik daripada laman blog http://selak.blogspot.com dengan beberapa penambahan oleh peminggirkota)