Abad 19 di Eropa. Seiring dengan berkembangnya gagasan Laplace tentang alam semesta deterministik, orang mulai berspekulasi. Apa jadinya jika atom-atom tubuh manusia dapat dibongkar, lalu disusun ulang persis seperti aslinya? Akankah “manusia” bentukan ini juga mempunyai ‘jiwa’ dan ‘pikiran’ ?
Pendapat ini berakar dari salah satu pandangan filsafat bernama physicalism (fisikalisme). Pandangan ini berpendapat bahwa segala sesuatu di alam semesta dapat dijelaskan sebagai kumpulan gejala fisika — sedemikian hingga semuanya dapat direduksi menjadi materi semata. Dapatkah “jiwa” terbentuk hanya dari susun-rangkai atom? Atau tidak?
Inilah yang kemudian menghasilkan sebuah pertanyaan krusial. Bahwasanya,
Asumsikan tubuh manusia bisa disusun-rangkai atom-per-atom, lengkap dengan semua mekanisme biologisnya.
Akankah makhluk ini jadi mampu berpikir, lantas memiliki kesadaran?
Pendapat para filsuf terbagi dua kubu di sini, yakni dualisme dan fisikalisme yang sudah disebut sebelumnya.
- Kaum Dualis percaya bahwa terdapat entitas ‘jiwa’ yang terpisah dari badan kasar. Mereka memandang bahwa pikiran manusia — yang secara imperatif mengandung kehendak bebas — tak bisa dipetakan hanya bermodal materi, hukum fisika, dan matematika.
- Kaum Fisikalis/Materialis percaya bahwa pikiran, imajinasi manusia hanyalah produk dari bekerjanya sistem otak. Apabila otak hancur, maka hilanglah kesadaran. Alhasil mereka memandang “materi” dan “jiwa” sebagai satu kesatuan.
Salah satu argumen yang disodorkan kaum dualis adalah sebagai berikut. Bahwasanya, manusia memiliki kehendak bebas — mereka bisa memilih apa yang hendak mereka lakukan. Sebagai contoh: jika saya dikejar oleh rombongan geng motor, apa yang akan saya lakukan? Mungkin saya akan lari (supaya tidak dipukuli). Atau mungkin saya akan melawan mereka (demi harga diri). Di sini terlihat bahwa manusia punya kemampuan untuk memilih.
Di mata kaum dualis, yang mengatur “pilihan mana” itu adalah jiwa. Sesuatu yang bebas, tak bisa ditakar (atau diimitasi) oleh sistem fisika apapun.
Di sisi lain, kaum fisikalis juga punya argumen sendiri: bagaimana jika sesungguhnya saya pasti akan memilih kabur (atau melawan). Hanya saja saya tidak sadar bahwa saya sedang “diatur” oleh sistem tubuh sendiri.
Mungkin karena darah sudah dibanjiri adrenalin, saya jadi terpacu untuk melawan. Mungkin kalau otak saya terlambat beberapa saat melepas neuron, saya jadi memilih kabur. Atau mungkin: karena otak saya melepas serotonin terlalu banyak, saya jadi bersemangat dan merasa bisa menang melawan geng motor tersebut.
Inilah pandangan kaum fisikalis. Bahwasanya, manusia dan pilihannya “ditentukan” oleh macam-ragam aktivitas fisika/kimia dalam tubuh. Dengan kata lain: “kehendak bebas” dan “jiwa” bukanlah kebebasan sebenarnya, melainkan tunduk dan diatur oleh materi.
Perdebatan Berlanjut: Philosophical Zombie
- Lebih lanjut: Philosophical Zombie
Salah satu argumen yang dikemukakan kaum dualis, untuk menyerang kaum fisikalis, adalah sebagai berikut:
Misalnya tubuh manusia benar bisa dibangun dari susun rangkai atom-per-atom, lengkap dengan semua sistem biologisnya.
Tentunya, karena sistem syarafnya lengkap, maka ia juga bisa menerima rangsangan (misal: berupa sentuhan, temperatur, dan lain sebagainya).
Tetapi, apakah “manusia” ini:
1. Bisa merasakan sensasi?
2. Mempunyai kesadaran diri?
3. Bisa mensintesis logika dan pilihan?
Ini adalah konsepsi yang cukup mendetail. Untuk memudahkan pembahasan, “manusia” hasil susun-rangkai atom selanjutnya kita sebut “zombie”.
Para dualis menantang dengan argumen sebagai berikut, sehubungan dengan poin-poin 1, 2, 3 di atas:
Jika zombie bereaksi ketika diberi rangsangan, ada kemungkinan dia sekadar bereaksi TANPA merasakan sensasi.
(analogi: mainan robot yang berbunyi jika disentuh)Manusia bereaksi sekaligus merasakan sensasi (sakit/nyaman/temperatur/dsb). Oleh karena itu, zombie tipe ini tidak bisa dibilang menyerupai manusia. (see also: qualia)
Jika zombie bisa berperilaku seperti manusia, belum tentu ia mempunyai kesadaran diri.
(analogi: robot ASIMO yang makin mirip dengan manusia)Manusia bisa mendefinisikan sifat ke-”aku”-an sebagai identitas diri. Jika zombie tidak memiliki rasa ke-”aku”-an, maka ia tak bisa digolongkan sebagai duplikat manusia.
Jika memang zombie hendak dianggap sebagai manusia, maka ia harus mempunyai sistem pilihan, kehendak, dan logika. Ciri khas manusia adalah kemampuan berlogika dan menganalisis, serta menetapkan pilihan. Jika zombie hendak dijadikan duplikat manusia, maka ia harus mampu menduplikasi kemampuan tersebut.
Tiga hal di atas adalah properti unik kesadaran manusia. Properti yang, jika dikompositkan, bisa dibilang membentuk suatu entitas yang bernama “jiwa”. Problem inilah yang kemudian dilemparkan pada para proponen fisikalisme.
Apakah manusia sebenarnya hanya produk susun-rangkai atom, atau ada sesuatu yang “lebih” yang di luar itu?
Determinisme dan Kesadaran: Adakah Kehendak Bebas?
Pada masa pra-kuantum, pendapat yang beredar di kalangan fisikalis/materialis adalah sebagai berikut:
Hukum alam bersifat deterministik, tunduk pada kaidah fisika dan matematika.
Tubuh manusia adalah obyek fisis.
Maka, jika “manusia” bisa dinyatakan sebagai obyek fisis semata, tidak ada yang namanya kehendak bebas. Sebab semua komponen kehidupannya diatur oleh hukum-hukum fisika dan matematika.
Sebagaimana bisa dilihat, ide ini sama sekali menafikan konsep “jiwa”. Seolah-olah manusia ditentukan oleh aktivitas atom, yang pada gilirannya membentuk sistem saraf, hormon, dan sebagainya. Jika determinisme ini dianggap berlaku, maka tidak ada ruang untuk kehendak bebas. Orang mungkin cuma *merasa* bisa memilih — sementara, di balik pintu, pilihan mereka tak lebih dari rangkaian mekanis sebab-akibat.
- Lebih lanjut: Quantum Mind theories
Banyak ilmuwan, dan filsuf pada umumnya, merasa gentar pada prospek matinya kehendak bebas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika berkembangnya mekanika kuantum disambut sebagai pendekatan alternatif.
Melihat kecenderungan QM yang quasi-deterministik, para ilmuwan berandai-andai. Mungkinkah QM berperan di balik munculnya kehendak bebas? Kehendak bebas tidak murni random, melainkan tergantung pada berbagai constraint (e.g. kepribadian, pengalaman dsb.). Kelihatannya cukup paralel dengan sifat QM yang — walaupun acak — tetapi memiliki ketaatan pada rambu-rambu probabilitas.
Atas Dasar apa Pendapat ini muncul?
Argumen pertama, dan paling utama dari diinkorporasinya QM dalam perkara kesadaran, adalah sifatnya yang nondeterministik. Sebagaimana sudah dijelaskan: ini merupakan boost yang membuka peluang bahwa kehendak bebas mungkin masih ada di dunia sains.
Atau, setidaknya, tidak semudah itu tenggelam oleh naturalisme deterministik. Tapi itu cerita lain untuk saat ini.
Argumen kedua yang juga menguatkan adalah sebagai berikut: bahwasanya, sistem otak dan sinaptik berukuran mikroskopik. Dengan demikian, pendekatan QM (atau kimia kuantum untuk molekul) jadi terkesan viable. Sebagaimana sudah kita bahas di tulisan bagian IV.a: perilaku kuantum benda bersifat signifikan pada orde mikroskopik. Otomatis ini membuka peluang bahwa sistem otak bisa dipetakan secara kuantum. Mungkin sistem otak tidak sedeterministik yang dibayangkan kaum fisikalis. Siapa tahu?
Adapun argumen ketiga bersifat sedikit teknis, tapi akan kita singgung sekilas di sini. Bahwasanya, ada kemungkinan sistem otak memanfaatkan prinsip komputer kuantum dalam membangun kesadaran.
Ide ini dijelaskan oleh fisikawan Roger Penrose. Menurut Penrose, terdapat sebuah hambatan yang membuat sistem logika manusia mustahil dipetakan dengan cara klasik (non-kuantum) — yakni Teorema Ketidaklengkapan Gödel.
Apa itu Teorema Ketidaklengkapan Gödel? Saya hanya akan menyinggung idenya sesingkat dan semampat mungkin:
Sebuah teori (atau kumpulan teori) matematika tidak mungkin lengkap dan konsisten. Jika ia lengkap, maka ia tidak konsisten. Tetapi, jika ia konsisten, maka ia tidak lengkap.
Sekilas agak membingungkan, tetapi penjelasan di bawah ini harusnya cukup membantu.
Misalnya terdapat sebuah mesin canggih yang mengklaim: “saya bisa membuktikan kebenaran pernyataan apapun yang Anda input.”
Kemudian, Gödel datang ke mesin tersebut, dan menginput pernyataan G: “pernyataan ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya”.
Maka di sini terbentuk paradoks. Mesin akan mengklaim bahwa “saya bisa membuktikan bahwa pernyataan ini tidak bisa dibuktikan kebenarannya”.
Kalimat di atas menunjukkan bahwa mesin yang diasumsikan bisa membuktikan pernyataan apapun (baca: bersifat lengkap) tidak bersifat konsisten.Tetapi, mesin tersebut akan konsisten selama Gödel tidak menginput pernyataan G.
Dengan demikian, jika mesin konsisten, maka pembuktiannya tidak lengkap. (dia tidak menghitung G)
Tetapi, jika ia lengkap, maka pastilah dia tidak konsisten. (karena dia harus menyertakan G)
Menurut Penrose, teorema ketidaklengkapan Gödel tidak berlaku pada logika manusia. Mengapa? Karena kita paham bahwa mesin Godel berbuat kesalahan. Jika kita diberi pernyataan “G tidak bisa dibuktikan”, maka kita tahu: tak ada gunanya mengklaim “saya bisa membuktikan bahwa G benar”. Kita tahu bahwa pernyataan seperti diucapkan mesin di atas adalah absurd.
Alhasil, manusia terhindar dari melakukan inkonsistensi sebagaimana dilakukan oleh sang mesin di atas. Penrose berpendapat: ada sesuatu dalam jalan pikiran manusia yang bersifat beyond mathematical logic.
***
Berdasarkan logika di atas, Penrose mengeluarkan ide kontroversial: logika manusia tak bisa dipetakan dengan algoritma konvensional, melainkan harus memanfaatkan prinsip komputasi kuantum (komputer kuantum memakai sistem logika yang berbeda dibandingkan komputer biasa — link). Intriguing as it may seem, ide ini kemudian mendapat tanggapan pro dan kontra, terutama dari kalangan matematikawan.
Mengenai bagaimana pro-kontra tersebut, kita takkan bahas di sini. Tetapi cukuplah untuk dikatakan: bahwa upaya ‘melangkahi’ Gödel di atas membawa Penrose pada pembahasan sistem otak berbasis kuantum. Gagasan Penrose kemudian diinkorporasi oleh ahli neurobiologi Stuart Hameroff — mereka kemudian bersama-sama mengembangkan model Orch-OR untuk menjelaskan kesadaran.
Hingga sejauh ini, terdapat (sekurangnya) dua model sistem neurologi berbasis kuantum yang cukup komprehensif. Meskipun begitu, perlu dicatat bahwa model-model ini masih bersifat pionir; tidak satupun di antara mereka yang diakui sebagai mainstream di bidang neurologi.
Dua model tersebut adalah:
- a) Model Orch-OR
Digawangi oleh Robert Penrose dan Stuart Hameroff,
Pertama kali digagas oleh fisikawan Jepang Hiromi Umezawa dan Herbert Frohlich pada dekade 1960-an.
Kedua model tersebut menetapkan: terdapat kondisi di mana sejumlah elektron dalam neuron bersifat sebagai kondensat Bose-Einstein. Sekadar informasi, kondensat Bose-Einstein adalah suatu fasa di mana energi sangat rendah, dan benda mulai menunjukkan perilaku kuantum.
Menariknya — atau kontroversialnya, tergantung sudut pandang Anda — adalah bahwa kondensat Bose-Einstein tidak bisa terbentuk jika bukan pada suhu mendekati nol mutlak (sekitar -273 derajat Celsius). Pertanyaannya: adakah tempat yang memungkinkan kondisi ini di dalam sistem otak?
Tak pelak, hal ini kemudian memicu kritik terhadap dua model tersebut… di samping juga beberapa hal lain. Ini akan segera kita bahas di seksi berikutnya.
Galibnya ide frontier science yang cukup radikal, pendekatan sistem otak berbasis kuantum tak lepas dari kritikan. Para kritikus — umumnya dari kalangan sains; walaupun ada juga yang berbasis filsafat — melemparkan pertanyaan sebagai berikut pada model quantum mind yang kita bahas.
Kritikan pertama datang dari kalangan sains. Max Tegmark, fisikawan dari kampus MIT, melontarkan keberatan sebagai berikut:[1]
Kita tidak bisa mengharapkan gejala kuantum berlangsung secara signifikan dalam sistem otak. Temperatur terlalu tinggi, dan dengan demikian superposisi jadi runtuh dengan sangat cepat.
Berdasarkan perhitungan, superposisi runtuh sekitar waktu 10-13 detik. Neuron bekerja pada orde waktu 10-3 detik. Di sini terlihat bahwa efek kuantum relatif bisa diabaikan — karena superposisi sudah runtuh jauh sebelum neuron bekerja.
Kritikan kedua, dari kalangan neurobiologi, adalah sebagai berikut:[2]
Pada kenyataannya, pertukaran sinyal neuron melibatkan ion-ion positif dan negatif semisal: Na+, K+, Ca++. Di sini terbuka kemungkinan bahwa indeterminisme kuantum bisa beraksi.
Dan pada kenyataannya (lagi), benar bahwa sejumlah aktivitas molekuler berperilaku secara stokastik. (stokastik = semi-random, dapat dipetakan menggunakan statistik)
Meskipun begitu keacakan ini bisa dipetakan dengan model chaos theory*. Tidak mesti bergantung pada gejala kuantum untuk menjelaskan peristiwa tersebut.
*) Chaos: keadaan di mana suatu peristiwa terlihat acak, tapi sebenarnya penjumlahan dari elemen-elemen deterministik. Umum diilustrasikan, “kepakan sayap kupu-kupu di Afrika mengakibatkan angin topan di Amerika”.
Sedang kritikan ketiga, dari kalangan filsuf dan psikologi:[3]
Kita asumsikan otak kita disusun oleh gejala kuantum. Pertanyaannya, bagaimana efek kuantum ini berperan menjelaskan rasa, sensasi, kesadaran, dan ke-”aku”-an?
Dalam banyak kasus, model kuantum tidak lebih baik daripada model klasik. Masih sama-sama meraba bagaimana hukum alam membentuk “manusia”, bukan sekadar “zombie”.
***
Sebagaimana bisa dilihat, masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. di atas kita sekilas menyinggung philosphical zombie. Proposal model kuantum untuk otak baru menyentuh problem ketiga: sistem pilihan, kehendak, dan logika. Itu pun, masih dengan catatan. Sedang dua problem sisanya masih belum terjamah.
Meskipun begitu, saya harus memberi catatan penting: kritisisme di atas TIDAK BERARTI model kuantum untuk sistem otak tidak layak diteliti lebih lanjut. Yang lebih tepat adalah, bahwasanya model kesadaran berbasis kuantum tidak/belum menunjukkan merit yang signifikan dibandingkan pendekatan tradisional.
Hingga saat ini, perkara kesadaran dan kehendak bebas masihlah tanda tanya besar. Ketidakmampuan model kuantum menggambarkan kesadaran, adalah sama dengan bagaimana model tradisional juga belum berhasil. Mengutip David Chalmers,[4]
Nevertheless, quantum theories of consciousness suffer from the same difficulties as neural or computational theories. Quantum phenomena have some remarkable functional properties, such as nondeterminism and nonlocality. It is natural to speculate that these properties may play some role in the explanation of cognitive functions, such as random choice and the integration of information, and this hypothesis cannot be ruled out a priori. But when it comes to the explanation of experience, quantum processes are in the same boat as any other. The question of why these processes should give rise to experience is entirely unanswered.
4c.5. Sampingan: Kehendak Bebas dalam Kerangka MWI
- Lebih lanjut: many-worlds interpretation ; modal realism
Ada sebuah interpretasi mekanika kuantum, yang — bisa dibilang — selalu memberikan sudut pandang baru dalam memandang persoalan. Tak lain dan tak bukan, interpretasi ini adalah many-worlds interpretation (MWI).
Di bagian akhir tulisan yang lalu, kita membahas tentang bagaimana MWI menjelaskan alam semesta deterministik. Bahwasanya segala sesuatu yang bisa terjadi pasti akan terjadi — hanya saja berlangsungnya di dunia paralel yang tak bisa kita amati.
Untuk menyegarkan (lagi), saya tampilkan kembali diagram kucing Schrödinger untuk MWI.
Sekarang, sekaitan dengan kehendak bebas. Timbul sebuah pertanyaan yang menarik:
Jika MWI benar, maka akan terdapat banyak “saya” yang tersebar di berbagai dunia.
Setiap kopi “saya” pastilah memiliki kondisi yang berbeda-beda (karena mewakili tiap kemungkinan yang berbeda).
Pertanyaannya: kalau begitu, apa gunanya kehendak bebas? Sebab, apapun yang hendak saya pilih, pastilah terdapat counterpart-nya di semesta lain!
Ini bisa dibilang sebagai suatu paradoks. Jika dipandang dari satu dunia saja, Anda punya kehendak bebas. Tetapi, jika dipandang secara keseluruhan, maka sebenarnya tidak ada gunanya Anda memilih.
Misalnya dalam ilustrasi saya dikejar geng motor, yang saya tulis di awal sekali.
Saya memutuskan untuk lari. Keputusan ini adalah kehendak saya, karena… (alasan tertentu)
Tetapi, di dunia tetangga, akan terdapat diri saya yang lain, yang berkeputusan:
Saya memutuskan untuk berkelahi melawan mereka. Keputusan ini adalah kehendak saya, karena… (alasan tertentu)
Bingung? ‘Menyeramkan’ ? You bet!
***
Singkat kata, apabila MWI benar, maka kita akan mendapat hak bernama “kehendak bebas”. Meskipun demikian, “kehendak bebas” itu sendiri sifatnya more than meets the eye. Setiap kali Anda membuat satu pilihan, maka terdapat pula “Anda” yang lain yang membuat pilihan berbeda. Kehendak bebas ada jika dilihat dari satu dunia saja — tetapi, jika dilihat secara keseluruhan, sebenarnya tak ada bedanya.
Jika saya jadi orang baik di sini, mungkin ada saya yang jadi penjahat di dunia lain. Atau tidak. Yang jelas, selama saya masih di dunia ini, saya bisa memilih. Hanya saja akan selalu ada “saya yang lain”, yang mengambil keputusan berbeda, di semesta yang lain.
And to add the dose of absurdity…
Misalnya surga dan neraka benar-benar ada. Katakanlah demikian (walaupun mungkin Anda percaya pada reinkarnasi, atau Anda tak percaya pada afterlife).
Lantas ada satu milyar kopi “saya” di berbagai dunia paralel.
Ternyata 50% dari saya menjadi orang baik, maka sejumlah 50% kopi saya masuk surga. (setengah milyar diri saya masuk surga)
Sedangkan sisanya menjadi orang jahat — jadi sejumlah 50% kopi saya masuk neraka. (setengah milyar diri saya masuk neraka)
…
…
Well, silakan dipikirkan. I’ll leave it at that, so cheers.
4c.6. Kesimpulan untuk Bagian Ini
Sejauh ini, kita sudah membahas bagaimana indeterminisme kuantum mungkin berperan dalam menghadirkan kehendak bebas. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah sebagai berikut:
- Di bidang filsafat, terdapat dua jenis pandangan dalam menilai hakikat jiwa, yakni dualisme dan fisikalisme/materialisme
- Dualisme mempercayai bahwa “jiwa” adalah entitas independen yang bersifat metafisik. Sedangkan fisikalisme percaya bahwa “jiwa” dan “fisik” adalah satu kesatuan, di mana “fisik” memegang kendali seutuhnya.
- Beberapa ilmuwan mem-propose ide bahwa otak membangun kesadaran dengan memanfaatkan gejala kuantum. Staple di sini adalah sifat indeterministik yang dimiliki oleh QM, sekaligus — pada model Orch-OR — asumsi bahwa kesadaran manusia adalah sesuatu yang bersifat beyond mathematical logic. (tetapi bisa ditangani oleh komputasi kuantum)
- Terdapat beberapa model quantum mind yang sudah dikembangkan. Meskipun demikian, model-model ini sifatnya masih relatif mentah.
- Model quantum mind yang sudah diajukan belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan penting mengenai kesadaran dan kehendak. Di titik ini, bisa dibilang bahwa quantum mind tidak/belum memiliki merit signifikan dibandingkan pendekatan tradisional.
- Terdapat juga model kehendak bebas yang diusung oleh MWI. Meskipun demikian ide ini cenderung spekulatif, mengingat nature MWI yang (hingga kini) masih bersifat hipotesis.
Dan, dengan demikian, berakhirlah penjelasan di tulisan bagian IV.c ini. Seperti biasa, tanggapan dan koreksi dari pembaca — jika ada yang berkompeten, baik di bidang fisika maupun filsafat — sangat diharapkan.
Terima kasih atas perhatiannya, dan sampai jumpa.
Seperti biasa, daftar bacaan untuk bagian ini saya letakkan di halaman khusus tersendiri. Silakan diklik jika berminat.
Sumber : http://sora9n.wordpress.com/2009/02/19/sedikit-tentang-mekanika-kuantum-dan-filosofinya-4c5/
[1] Seife, Charles. 2000. “Cold Numbers Unmake the Quantum Mind”. Science Magazine, Vol. 287. no. 5454, p. 791.
[2] Weber, M. (2004), “Indeterminism in Neurobiology: Some Good and Some Bad News” (format .doc)
[3] Chalmers, David J. (1995) Facing Up to the Problem of Consciousness. Journal of Consciousness Studies 2(3):200-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar