Tampilkan postingan dengan label Ta'lim Hikmah Sufistik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ta'lim Hikmah Sufistik. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 November 2014

Keutamaan Para Sahabat ra menurut para Sufi

Sahabat Nabi

Betapa agung keutamaan yang diperoleh para sahabat. Mereka menduduki tingkat shiddiqiyyah. Tiada kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan shiddiqiyyah, kecuali nubuwwah (kenabian). Kebaikan tersebut datang kepada mereka silih berganti; inayah Allah menyertai mereka.

Seorang sahabat dapat melampaui seratus ribu maqam dalam sesaat. Derajat mereka lebih tinggi dari pada orang yang melihat Nabi SAW (bloger: secara yaqadhah) setelah beliau wafat. Sebab, para sahabat melihat Nabi dalam rupa yang sempurna. Sedangkan para wali maksimal melihat Nabi di alam lain. Para sahabat meraih kedudukan itu tanpa usaha yang berarti. Pagi hari mereka masih kafir, masuk waktu Ashar mereka telah mencapai derajat Shiddiqiyyah. (Dalam sebuah syair)


Wahai Ibnu Lasbaath, banjir membasahi tanah berdebu
Waktu dhuha berlalu, sore hari telah hijau semua

Alangkah bodoh orang yang beradab buruk terhadap para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Seorang murid bertanya kepada Syeikhnya, "Siapakah yang lebih utama: Juneid bin Muhammad atau Sahabat Nabi." Gurunya menjawab, "Seorang sahabat paling rendah lebih utama dari 70 Juneid."

Jika qadha dan qadar (bloger: maksudnya fitnah peperangan antara para sahabat ra) berlaku kepada salah seorang dari mereka, maka sesungguhnya mereka memperoleh udzur, atau pahala. Semoga Allah mengaruniai kita kecintaan kepada al Habib shallallahu'alaihi wa sallam dan para sahabatnya ra.
(Kumpulan wasiat dan Nasihat mu'alif simtud dhuror) 


1800 liter tinta dari sang Pendekar Ilmu

(Bloger) Akhir-akhir ini berkembang suatu kecendrungan bahwa semua yang modern itu pastilah lebih hebat dan meyakinkan, hingga sampai kepada sikap meremehkan para pendahulu, khususnya para ulama yang selama ini menjadi rujukan umat dan pegangan dalam parameter ukuran seberapa dekatkah kita dengan alQur'an dan Sunnah. Sehingga ada keyakinan, untuk memahami alquran dan sunnah itu, kita langsung atau cukup merujuk para ulama modern yang seolah dianggap jauh lebih berakal dan faham soal ini. Sikap ini karena kurangnya "bercermin diri" dan mengukur "bayang-bayang sepanjang badan". Dalam kesempatan hikmah kali ini mari kita bercermin dan mengukur bayang-bayang sepanjang badan dibanding para ulama terdahulu. Adakah sedikit kemiripan antara mereka dengan diri kita atau orang kontemporer yang kita sanjung setinggi langit itu?

KISAH ULAMA TERDAHULU

Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari, yang diakui sebagai mujtahid mutlak setelah Imam Syafi'i, mampu menghafal buku sebanyak yang dibawa 80 ekor onta, salah satunya adalah 700 jilid buku dalam ilmu tafsir. Al-Hafizh Ibnu Syahin menulis 330 judul buku, di antaranya adalah 1000 jilid kitab tafsir Qur'an dan 1600 jilid kitab al-Musnad. Di akhir hayatnya, ketika jumlah tinta yang ia gunakan untuk menulis ditimbang. Ternyata ia telah menghabiskan 1800 liter tinta. 
(Kumpulan Nasihat & Wasiat Habib Ali al Habsy)

Rabu, 22 Oktober 2014

Baik Sangka dan Sikap Positif para Arif

Jiwa yang bersih dan berbaik sangka, tidak mudah menduga yang buruk-buruk kepada sesama saudara muslimin adalah sifat dari manusia yang arif. Namun kita lihat berbaik sangka dan melihat sesama muslimin dengan keyakinan yang baik dan positif adalah fenomena yang semakin luntur di jaman ini. Dengan mudah kita lihat dan kita temukan orang yang tampak "berakal" namun rajin berprasangka buruk kepada sesama, sedikit saja praduga muncul dari syaithan soal saudaranya dengan mudah mereka tanggapi dan yakini. 

Bahkan hal ini dicapai dengan kesibukan mencari-cari dan menduga-duga berbagai kesalahan saudaranya seiman. Dengan enteng label-label buruk akan segera dilontarkan, seperti suka melempar tuduhan-tuduhan, yang terkadang berwujud menjadi sebentuk pembid'ahan, pensyirikan, pengkafiran dan berbagai pelabelan berbahaya dan buruk  lainnya. Begitu juga melemparkan berbagai isyu-isyu yang tidak jelas ketentuannya di bidang politik maupun ekonomi. Hal ini tidak dapat tidak lahir dari jiwa yang suram yang penuh dengan hasad dan dengki dan tidak tersentuh suluh hidayah. Jiwa yang buruk akan melihat keburukan di mana-mana, padahal yang ia lihat keburukan tersebut boleh jadi hanyalah cermin jiwanya yang gelap.

Mari kita hayati bagaimana orang yang berjiwa arif dan bersih bersikap dan betapa bening jiwa-jiwa mereka yang bercahaya dalam melihat cermin dunia ini pada sesama saudaranya kaum muslimin. Para arif biasa mendorong orang pada kondisi yang baik meski yang bersangkutan melakukan sesuatu yang secara kasat mata berbentuk pelanggaran. 

Pada suatu ketika ada seseorang yang mengaku mencuri kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda "Setahuku, kau tidak pernah mencuri." (HR. Darimi).

Sahabat Ma'iz ra saat mengakui telah berbuat Zina, Rasulullah SAW bersabda "Mungkin kau hanya mencium atau merangkulnya" (HR. ALBUKHARI). 

Seorang sahabat telah membunuh orang kafir yang telah mengucapkan kalimat "lailahaillallah" nabi SAW bersabda, "apakah engkau telah membelah hatinya?" 

Beliau juga pernah bersabda 
"Janganlah engkau mengira satu kalimat yang keluar dari mulut seorang muslim sebagai kalimat yang buruk, padahal engkau mengenali orang itu ahli berbuat baik." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'ab al Iman)

Al-Allamah al Manawi menyebutkan dalam ath-Thabaqat pada Biografi Imam Ahmad bin Hambal; As-Salafi meriwayatkan dalam athuyurat dari Al-Atiqi  dari Ath-Thurtusi dari Ath-Thabrani dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata, "Aku mendengar ayahku ditanya, 'Orang-orang sufi itu duduk-duduk saja di masjid seraya bertawakkal tanpa disertai ilmu.' Imam Ahmad berkata, 'Ilmu yang membuat mereka duduk di masjid.' Dikatakan kepadanya, 'yang mereka pikirkan hanya makanan dan pakaian.' Imam Ahmad berkata, aku tidak mengetahui uzur yang lebih besar dari orang yang cirinya seperti itu.' Dikatakan kepadanya, 'Saat mendengarkan zikir, mereka bangun lalu menari.' Imam Ahmad berkata , 'Biarkan saja mereka bersenang-senang dengan Rabb mereka'." (sumber kisah dari kitab Tahdzir Al-Ikhwan al allamah al muhaqiq Zainal Abidin Ba'alawi)


Sabtu, 18 Oktober 2014

Pengaruh Amal terhadap Hati




Ketahuilah, sesungguhnya berbagai amal baik seperti puasa, shalat dan sejenisnya akan memberikan pengaruh yang baik kepada hati yang lembut dan suci. Orang-orang yang memiliki hati lembut dan baik seharusnya menjadikan amal-amal ini sebagai jalan mereka menuju Allah Ta'ala. Manfaat amal-amal ini untuk orang-orang yang sombong dan berhati keras sangat kecil. Bahkan mereka dapat semakin sombong dan 'ujub karenanya.

Orang-orang yang sombong dan berhati keras harus mengobati penyakitnya dengan amal yang mampu menghancurkan kekuasaan nafs, seperti: Pergaulan dengan orang-orang yang tidak mampu, tawadhu' kepada kaum miskin, meneladani penampilan dan amal mereka, membawa sendiri sedekahnya ke rumah kaum fakir, rumah orang-orang yang tidak di perhatikan dan hatinya luluh (karena Allah) dan mendatangi orang-orang yang tidak di kenal. Pengaruh amal ini bagi nafs yang sulit dan keras lebih baik dari pada pengaruh puasa (sunah) dan shalat (sunah).

Diriwayatkan bahwa ada seorang ulama Bani Israil yang telah mengarang 860 buku hingga namanya tersohor ke seluruh penjuru dunia. Suatu hari Allah Ta'ala mewahyukan kepada seorang Nabi di zaman itu, "Katakanlah kepada Fulan, 'Engkau telah menebarkan kemunafikan di muka bumi. Semua amalmu itu tidak engkau tujukan untuk-Ku.' Ketika Sang Nabi menyampaikan wahyu Allah ini kepadanya, ia segera bersimpuh di hadapannya dan membuang semua bukunya. Selang beberapa waktu ia beribadah dalam sebuah gua di gunung. Allah kembali mewahyukan kepada Sang Nabi, "Temui ulama itu dan katankan padanya, 'Allah berkata Dia tidak meridhoimu." Ketika sang Nabi menyampaikan wahyu ini kepadanya, ia kebingungan dan berkata, "Apa yang harus kulakukan?" Allah Ta'ala lalu memberinya ilham untuk pergi ke pasar dan merendahkan dirinya. Ia pun segera melaksanakan ilham itu; merendahkan dirinya, membantu kaum lemah dan membelai kepala anak yatim. Tak lama kemudian Allah Ta'ala mewahyukan kepada Nabi-Nya, "Katakan kepadanya, 'Sekarang Aku meridhoimu."

Diriwayatkan pula bahwa seorang penjahat Bani Israil bertemu dengan seorang ahli ibadah ('abid) Bani Israil dalam sebuah perjalanan. Penjahat itu mengikuti sang 'abid sambil berkata dalam hati, "Ketika 'abid itu memperoleh rahmat, semoga aku mendapatkannya juga." Dia terus mengikuti si 'abid menoleh dan berkata, "Apa urusanku denganmu, aku adalah 'abid Bani Israil, sedangkan engkau penjahat Bani Israil. Menyingkirlah!" Dia segera pergi meninggalkan sang 'abid dengan hati hancur. Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepada Nabi di zaman itu, "katakan kepada penjahat itu, 'Aku telah mengampuni semua dosamu karena engkau merendahkan diri kepada si 'abid.' Dan katakanlah kepada si 'abid, 'Aku telah menghapuskan semua kebaikanmu karena kesombonganmu kepada penjahat itu.' Katakan kepada keduanya untuk segera beramal dari awal."
(Sayyid Muhammad bin 'Abdullah Al-'aidarus dalam kitabnya Idahu Asrori Ulumil Muqorrobin)

Syafaat Sang Nabi


 Senandung Sahabat Mazin ibn al-'Adhub ketika datang kepada Rasulullah SAW untuk memeluk Islam seraya memohon syafaat kepada baginda Nabi SAW

"Kepadamu Wahai Rasulullah....Untaku lari melintasi padang Sahara, dari Oman hingga 'Araj agar engkau memberiku syafa'at, wahai sebaik-baik orang yang menginjak kerikil. Hingga akhirnya Tuhan mengampuniku dan aku pergi membawa kemenangan" (HR. Abu Nu'aim dalam Dalailu al- Nubuwwah).

Kamis, 16 Oktober 2014

Membatalkan Puasa Sunnah demi Doa Seorang Muslim


Suatu hari Syeikh Ma'ruf (alKharki) berjalan melewati seseorang yang membagikan air secara cuma-cuma sembari berkata, "Semoga Allah merahmati seseorang yang mau meminum airku ini." Mendengar doanya Syeikh Ma'ruf yang sedang berpuasa sunnah itu pun segera meraih gelas yang berisi air tersebut dan meminumnya. Seseorang yang menyaksikan peristiwa itu bertanya kepada beliau:

"Bukankah engkau sedang berpuasa, mengapa engkau batalkan puasamu?"


"Benar aku sedang berpuasa, akan tetapi doanya lebih kuharapkan dari pada puasa sunnahku, " jawab beliau

HIKMAH DI BALIK KISAH

Orang-orang saleh terdahulu memiliki jiwa yang bersih. Mereka senantiasa berprasangka baik dan merendahkan diri kepada orang lain. Sehingga, ketika mendengar doa seperti tersebut di atas, mereka sedikitpun tidak berpikir bahwa puasanya lebih hebat dari doa penjaja air tersebut 

(dikutip dari kitab Akhlak Para Wali karya Ustadz Naufal bin Muhammad Al Aidarus)

Rabu, 15 Oktober 2014

Tetaplah Menuntut Ilmu


Dengarlah kisah berikut wahai Putriku Buah hatiku si Biran Tulang, tentang semangat menuntut Ilmu,....
adalah Syeikh Ahmad bin Hajar al Haitami dulunya mencoba menjadi pedagang. Setiap kali berdagang, ia rugi. Ia lalu memutuskan untuk tidak berdagang lagi.

"Aku akan bergerak dalam suatu usaha yang tak kenal rugi,"
katanya, "bahkan semuanya serba menguntungkan."

Ia lalu merantau menuntut ilmu. Akan tetapi dalam mencari ilmu, ia mendapat kesulitan dalam memahami pelajaran. Ia pun kemudian meninggalkan usahanya menuntut ilmu.

Suatu hari, ketika melewati sungai, ia menyaksikan tetesan air yang mengakibatkan lekukan pada batu. 
"Manakah yang lebih keras, batu ini atau hati Ahmad bin Hajar al Haitami?. Namun tetesan air tidak akan membuat lekukan pada batu kecuali jika terus menerus menetes," pikirnya.

Ia kemudian kembali menuntut ilmu dengan tekun sampai akhirnya menjadi seorang yang 'alim.
(dikutip dari Tuhfah al Asyraf)

Keyakinan dan Prasangka Baik


Pada suatu hari 40 pencuri keluar kota untuk melakukan pekerjaannya. Ketika malam tiba, mereka memasuki sebuah kota. Di kota itu, mereka tidak memiliki teman yang dapat disinggahi atau tempat untuk istirahat. Mereka bertanya kepada penghuni kota di mana mereka bisa istirahat. Orang kota itu menyarankan agar mereka tinggal di pondok pesantren. Mereka kemudian menyamar sebagai penuntut ilmu dan pergi ke suatu pesantren. Sesampainya di sana mereka mengetuk pintu.
"Siapa ya...?" tanya seorang santri.
"Kami hendaK menuntut ilmu di sini," jawab mereka.


Pintu pun lalu dibuka dan mereka mempersilahkan masuk. Malam itu juga mereka menjadi santri di pondok pesantren. Ketika para santri telah lelap dalam tidurnya, mereka melasanakan pekerjaan mereka. Namun, mereka pulang dengan tangan kosong, karena tidak dapat menemukan barang yang pantas dicuri.


Pemilik pesantren memiliki  seorang anak yang telah bertahun-tahun tak mampu berjalan. Ketika melihat para pencuri tadi berwudhu, ia mengambil air bekas wudhu mereka lalu mengusapkan air itu kekaki anaknya dengan niat untuk mendapat berkah mereka. "Semoga Allah menyembuhkan penyakitnya," katanya dalam hati dengan penuh keyakinan.


Ketika para pencuri itu kembali dari pekerjaannya, mereka melihat anak itu berjalan padahal setahu mereka anak ini selama bertahun-tahun hanya bisa duduk saja.


"Bagaimana ia dapat berjalan, bukankah sebeumnya ia hanya bisa duduk saja?" tanya mereka keheranan.


"Benar, ini berkat kalian. Aku mengambil air bekas wudhu kalian dan mengusapkan ke kakinya. Rupanya Allah berkenan menyembuhkannya," jelas pemilik pesantren.


Pencuri itu saling berbisik, "Tuhan memperlakukan kita dengan baik, sedangkan kita selalu bermaksiat kepada-Nya. Kami akan bertobat dan akan bersungguh-sungguh menuntut ilmu."
Mereka semau lalu benar-benar menjadi santri dan selalu tekun menuntut ilmu. Karena kesungguhan mereka, Allah kemudian memberi mereka fath (penyingkapan pemahaman yang besar).


Keyakinan adalah suatu hal yang besar. Disebut dalam sebuah syair.


Jika seseorang meyakini
namun, kenyataan lain dari yang disangka
ia tak akan kecewa
karena Allah akan tetap memberi karunia.

(Dikutip dair kitab Tuhfa al-Asyraf, yaitu kitab yang memuat kalam Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin 'Abdurrahman as-seqqaf yang ditulis oleh muridnya, Habib Ahmad bin 'Alwi al-Jufri.)

Sabtu, 11 Oktober 2014

Kalam Mulia Tuan Guru


"Hai orang yang mendapat nikmat pandangan mata--syaraf mata yang berjumlah ribuan atau jutaan memindah gambar ke hatinya sehingga ia memiliki banyak pemahaman--bertaqwalah kepada Tuhan Yang telah menciptakan pandangan mata ini dan memberikannya kepadamu. Awaslah, bagaimana engkau gunakan mata itu dan bagaimana mata itu mengarahkanmu. Apakah sudah sesuai tuntunan syariat yang ditetapkan, diterangkan, dan dijadikan oleh-Nya sebagai jalan yang mesti dilaluinya? Ataukah, engkau berani melanggar Tuhan yang menganugrahkan dan memberi nikmat mata ini kepadamu, dengan menggunakannya untuk sesuatu yang diharamkan dan dilarang oleh-Nya untukmu?" (al Habib Umar bin Hafidz, Mamlakatul-Qalbi wal-A'dha')

Jumat, 10 Oktober 2014

Kalam Habib Umar

"Orang-orang cerdas dari kalangan orang-orang Mukmin biasanya jika memiliki hajat apapun yang terkait dengan makhluk dalam wilayah apapun, maka mereka terlebih dahulu menengadahkan hajat itu kepada Allah, memohon dan menghadap kepadaNya. Setelah itu mereka pergi menemui makhluk itu dan menyampaikan keperluan itu kepadanya, dengan hati yang tetap terikat kepada Allah SWT. Kemudian, jika hajat itu sudah terpenuhi, mereka tidak lupa bersyukur kepada orang itu. Jika tidak terpenuhi, mereka memakluminya" (Habib Umar bin Hafidz dalam kitabnya Mamlakatul-Qalbi wal-A'dha')

Kamis, 02 Oktober 2014

Izinkan Daku Berwisata


 Dari Abu Umamah ra meriwayatkan bahwa seseorang bertanya (pada rasulullah SAW), "wahai Rasulullah! Izinkan aku untuk berwisata!" Nabi SAW menjawab, "Sesungguhnya wisata ummatku adalah jihad fi sabilillah 'Azza Wajalla." (HR Abu Dawud)

Komentar Bloger: Hidup seorang muslim adalah perjuangan keras tiada henti, tidak ada waktu berleha-leha dan berlibur sekedar cuci mata, pelesiran menikmati kuliner dan belanja-belanja atau melakukan perjalanan yang jauh tanpa tujuan hikmah yang jelas untuk meraih ridho Allah.

Minggu, 10 Agustus 2014

Wahai Putriku


  Wahai Putriku tercinta, dengarlah nasehat dari Salafunassalihin, para guru mulia berikut ini:
  
    "Ilmu diperoleh dengan Belajar. Sedangkan Hilm diperoleh dengan latihan bersabar"
                     

Ma'rifat




"MA'RIFAT ITU BUKAN PEMBAHASAN, MA'RIFAT ITU PENGALAMAN, JANGAN KAU TANYA HIKMAHNYA, AMALKAN LALU RASAKAN"
(Guru Mulia al Habib Muhammad Taufik bin Hamzah Assegaf)

Kebiasaan



 "Kebiasaan orang-orang besar adalah kebiasaan besar"
(Salafunasshalihin)

Jumat, 08 Agustus 2014

Tafakkur Cinta dan Kekariban dengan Tuhan

The thought of love and friendship with God is the same!

254
The servant of God is like the lover whose thought does not leave his beloved for any reason. If he does so, his love is deficient; for, love is total and there is no room left for anything else. So, his thought is about the beauty of the beloved and her beautiful form, and about her deeds and character. If he thinks about himself, either he does so to make himself more acceptable to his beloved and to seek (the means for) that, or he thinks about that in himself which displeases his beloved and how to avoid that. The thought of love and friendship with God Most Hight is the same.
- Imam al-Ghazali

Ingin Tahu di mana Allah

And one wants to know where God is…

'4
You don’t even know where you are relative to the universe
and you wish to know where God is.
 Hadhrat Abu Hamid al-Ghazzali radi Allahu ‘anhu

Minggu, 03 Agustus 2014

Oh Musthafa

A High Being…

57704
Mustafa, peace and blessings be upon him, is so high a being that the moon did not dare to see his face and split. The fragrance of the wind of this spring comes from his blessed hair. The shining of our imagination comes from his beauty’ which reminds us of the newly rising sun.
- Mevlana Jalalludin Rumi رحمه الله -

(Terjemahan Blogher: Mustafha, semoga shalawat beserta salam atasnya, begitu mulia dan agung, sehingga rembulan pun tak berani menatap wajahnya hingga menjadi terbelah. Wewangian angin musim semi ini (ketahuilah kawan) berasal dari rambutnya yang diberkahi. Bersinarnya imaji kita (wahai kawan) berasal dari keindahanya yang mengingatkan kita akan purnama yang sedang terbit)

Kamis, 31 Juli 2014

Kalam Hikam

 

 

Kalam Para Wali Allah


"Kekayaan itu adalah ketidak butuhanmu kepada sesuatu.

Sedangkan kebutuhanmu terhadap sesuatu itu disebut kefakiran."

(al-Imam Asy- Syafi'i)




Kalam Berisi

Kalam Hikmah Para Wali Allah

"Barang siapa perhatiannya 

Hanya pada apa yang masuk ke dalam perutnya,

maka nilai orang tersebut

tidak lebih dari apa yang keluar dari perutnya."

(Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra)


Komposisi kotoran alias "bunduong" manusia