Hari ini ku mengawas ujian di sekolah tempatku mengajar,...dengan sejumlah siswa yang jelas tampak tidak jujur. Strategiku meminta mereka mengumpulkan HP nya dan ditaruh di meja guru pengawas, lalu yang rangking satu kusuruh duduk di depan tempatku seharusnya duduk lalu aku duduk berbaur bersama mereka,...itupun masih terlihat mereka saling berkomunikasi dan saling berbagi jawaban....Hmmm, hanya bisa geleng-geleng kepala seraya menahan geram.
Saat ini sangat sulit mencari orang yang jujur, semakin hari dunia pendidikan semakin kehilangan maknanya. Pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia penipu, sangat sedikit manusia yang jujur dan memiliki integritas lahir dari sistem yang buruk. Kenapa kukatakan sistem yang buruk? bagaimana tidak kukatakan sistem yang buruk jika outputnya buruk, sangat sedikit sekali menghasilkan orang-orang yang mempunyai integritas. Saban hari kita lihat berita di media massa di mana manusia-manusia dengan tingkat pendidikan tinggi diadili akibat korupsi, ada yang dijebloskan di penjara padahal dia seorang doktor dan dosen teladan, ada yang dijebloskan di penjara padahal dia adalah seorang doktor dan ahli hukum, ahli ekonomi, ahli sosial politik, ahli agama bahkan, orang-orang yang kita harapkan akan menjadi ujung tombak dalam pembangunan bangsa.
Sistem yang buruk lahir dari sistem pendidikan yang tidak punya kepribadian, sistem pendidikan yang hanya menghasilkan tambal sulam terhadap konsep-konsep asing lalu "diinstallkan" begitu saja ke dalam pola kurikulum. Kurikulum yang hanya berupa contekan konsep-konsep asing tersebut,misalkan di adopsi dari pola pendidikan barat jelas akan memiliki ekses-ekses ikutan yang negatif. Hal ini bagaikan menstransfusikan darah secara sembarangan kepada seseorang tanpa melihat kepada tipe golongan darahnya. Akibatnya bisa fatal bahkan bisa menyebabkan kematian kepada sang penerima donor darah.
Semenjak zaman penjajahan hinga dewasa ini, kita masih bingung hendak kemana sebenarnya pendidikan anak bangsa ini di bawa. Kita terus menyaksikan pergantian kurikulum yang tidak menunjukkan pola pergantian yang sehat, melainkan hanya bongkar pasang yang sering kali apa yang di bongkar dalam kurikulum itu tidak substantif isinya. Aku selaku guru sering merasa bingung ketika diluncurkan proyek perbaikan kurikulum, kurikulum baru tersebut kita perhatikan hanya merubah-rubah posisi dari posisi silabus sebelumnya, lalu dimuati dengan muatan-muatan baru yang terkesan dipaksakan dan tidak nyambung. Contoh gamblang sendiri terlihat tidak ada sinerginya antara berbagai komponen kurikulum seperti antara matematika dan fisika. Di fisika kurikulum 2013 mengajarkan topik teori vektor, anehnya di matematika dipelajari lagi dan yang paling aneh tidak terlihat suatu komentar atau ulasan memadai dari kurikulum bahwa dua pendekatan terahadap teori vektor ini berbicara objek yang sama. Jelas ini mubazir dan membuang waktu siswa, ketika dipelajaran fisika mereka harus belajar vektor dan membutuhkan teori vektor bahkan di awal kelas X, namun di matematika mereka belajar vektor justru di kelas XII tepat ketika mereka tengah belajar topik lain di fisika. Inilah cermin sudut pandang parsial dalam penyusunan kurikulum.
Dari segi lain, kurikulum jelas perlu diperbaiki untuk mengimbangi perkembangan zaman dan tuntutan era modern. Namun yang aneh, kalau dicermati benar kurikulum baru 2013 ini, kita menemukan sangat sedikit bahkan nyaris tidak ada komponen kebaruan. Sebagai contoh banyak sekali perkembangan kontemporer fisika modern tidak ditinjau sama sekali, seperti konsep simetri sebagai jantung fisika modern yang menghasilkan banyak temuan partikel baru, sama sekali tidak disinggung, juga bahwa partikel baru banyak sekali ditemukan, namun anehnya kurikulum 2013 masih mengajarkan bahwa partikel fundamental itu adalah proton, neutron dan elektron belaka ditengah kemajuan fisika modern yang penuh sesak dengan "kebun binatang" partikel.
ketika dalam suatu workshop pelatihan kurikulum 2013 aku berulang-ulang mendengar ungkapan dari instruktur tentang pola pengembangan silabus dengan pendekatan saintifik. terus terang, aku tidak paham dan merasa rancu dengan konsep ini. Kenapa? karena fisika itu sendiri sebagai ilmu sains jelas secara espitomologis merupakan ilmu dikembangkan buah dari pendekatan dari saintifik. Jadi, ketika mengatakan pengajaran fisika akan diajarkan dengan cara saintifik ini menimbulkan kesan kepada seorang guru fisika dan ditularkan pada anak didiknya bahwa fisika itu belum siantifik dan ada bagian yang tidak saintifik. Lebih konyol lagi dalam suatu pelatihan aku lihat bagaimana guru agama islam susah payah dengan sekuat tenaga menyusun sebuah perangkat pengajaran yang ia kembangkan dari sebuah silabus untuk dapat memiliki pendekatan saintifik. Ini tolol sekali, apanya yang saintifik ketika dibahas materi tentang pokok keimanan kepada yang gaib, misalkan: malaikat, jin, setan, iblis, eksperimen apa yang bisa dikembangkan? karena unsur saintifik berasal dari eksperimen. Apakah keimanan kepada yang gaib itu diperlakukan sebagai suatu hipotesis? ini jelas menunjukkan kekacauan epistemologis dari sang konseptor kurikulum. Dari satu sisi lain, kurikulum baru digadang-gadangkan untuk memperkuat pendidikan karakter anak bangsa, tapi anehnya, apa landasan fundamental dari pendidikan moral ini, jika tidak ditegakkan pada pondasi keimanan kepada yang transenden, mengatasi dikotomi-dikotomi saintifik. Jelas ini seolah-olah mengajarkan secara implisit kepada siswa bahwa pendekatn ilmiah lebih superior daripada pendekatan religi dalam pandangan dunia mereka. Dari titik ini, mereka tidak akan mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai moral dan hukum serta emosi selain moral dan emosi-emosi dangkal yang erat kaitannya dengan kognitif saintifik. Tidak heran lagi, produk hulu dan hilir dari sistem ini adalah generasi yang koruptor dan mahir berkata-kata namun nyaris tidak punya hati nurani.
Citra pendidikan bangsa ini bagi banyak pengamat baik dalam maupun luar negri nyaris tidak pernah positif. Salah satu sebab kegagalan menumbuhkan citra lebih positif melalui peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah dalam berbagai seginya adalah kebijakan yang selalu berubah-ubah, tidak konsisten, ad hoc, parsial dan remeh temeh. Hal ini paling mendasar antara lain terlihat misalnya dalam soal kurikulum yang sering disebut sebagai‘ganti menteri, ganti kurikulum’. Bahkan mohon maaf jika aku menilai bahwa kurikulum lebih merupakan proyek "bisnis" skala kolosal dari pada usaha-usaha jelas memperbaiki kualitas anak bangsa.
Dalam gambar besar arsitektur peradaban, pendidikan adalah transformator alamiah yang membawa dimensi visi peradaban (potensi sumberdaya: manusia, bumi. waktu, sistem nilai) menuju kepada peran mulia sebuah peradaban.
Semua bangsa atau peradaban pada galibnya memiliki pendidikan sebagai transformator peradaban, yang merupakan dimensi utama dan penting dalam mempertahankan keberlanjutan peradaban bangsa itu sendiri. Pendidikan secara alamiah telah ada, dengan berbagai bentuknya, yang dipercaya oleh suku-suku dan bangsa-bangsa sebagai penjaga kedamaian dan kelestarian keberlangsungan bangsa itu.
Kedamaian dan kelestarian mendasar yang dimaksud adalah kelestarian manusia dan masyarakat pada bangsa itu, kelestarian alam, kelestarian kehidupan serta kelestarian sistem nilai yang dianut dan diyakininya. Bentuk pendidikannya dari yang paling sederhana, yaitu apresiasi bahasa Ibu dan dongeng-dongeng kearifan menjelang tidur bagi anak-anak generasi penerus sampai kepada dibangunnya perpustakaan dan pembagian peran-peran tokoh masyarakat dalam pendidikan.
Secara wujud pendidikan menjamin lahirnya generasi penerus, local community leader, yang mampu menjamin keberlangsungan suku bangsa atau komunitas itu. Tentu saja akhlak dan kemampuan yang berelasi dengan keunggulan dan kearifan lokal menjadi yang utama dalam pendidikan. Intinya adalah pendidikan terintegrasi dengan keseluruhan realitas dan potensi (manusia, bumi, kehidupan, sistem nilai) yang ada pada komunitas atau suku atau bangsa itu.
Bencana Industrialisasi
Dunia modern, tepatnya semenjak era industrial abad 18, mulai merenggut sistem pendidikan dari komunitas dalam keragaman suku-bangsa kepada negara sebagai otoritas tunggal. Mulailah masa-masa kelam sistem persekolahan. Persekolahan beralih fungsi dari transformator peradaban mulia, menjadi alat rekayasa sosial kepentingan pemegang modal dan pemegang kekuasaan untuk mengkotak-kotak masyarakat sesuai selera mereka. Kelas-kelas sosial diciptakan lewat ujian saringan kecerdasan dan kemampuan finansial, yang semuanya direkayasa sesuai kebutuhan persaingan industri dan perang.
Di Indonesia, sistem persekolahan kolonial Belanda telah sukses merampas peran sistem pendidikan berbasis komunitas di daerah-daerah seperti Pesantren, Meunasah, Surau, Dayah, Rangkang, Langgar dsbnya. Fungsi pendidikan (persekolahan) kemudian hanya menjadi “rantai suplai” bagi pabrik dan perkebunan kolonial. Paska kemerdekaan, tradisi persekolahan untuk melahirkan kuli dan pekerja pabrik ini berlanjut. Sistem Persekolahan yang ada juga mirip pabrik, hanya menyaring mereka yang secara rata-rata “memadai” untuk bekerja di pabrik pemilik modal. Akhlak dan potensi unik manusia apalagi potensi unik daerah/desa/suku sama sekali tidak penting.
Lahir bagai jamur persekolahan yang membebek sistem persekolahan kolonial ini, bahwa persekolahan adalah “ladang bisnis” yang menjanjikan berbalut idealisme dan metode hebat yang dijajakan. Termasuk maraknya persekolahan yang berlabel agama. Isinya, gaya, tradisi dan output sama saja, yaitu memberhalakan akademis. Tuhannya adalah kecerdasan akademis. Ouputnya seragam, yaitu kelas-kelas sosial akademis proletar, pekerja dan buruh. Skill dan Knowledge adalah mata uang yang berlaku.
Kesadaran Baru – Tambal Sulam
Dunia kemudian berubah menjadi “kembali beradab”, orang-orang dari generasi baru melihat bahwa model persekolahan ini sudah tidak memadai, mereka menemukan bahwa Karakter atau Attitude (A) ternyata lebih penting dari Skill (S) dan Knowledge (K). Banyak yang well schooled, hebat di keterampilan dan pengetahuan, namun buruk di perilaku dan sikap juga karakter.
Ramai-ramai orang berbondong2 “menambal sulam” sistem persekolahan kolonialnya dengan “pendidikan karakter”. Sekedar catatan, anehnya sekolah-sekolah yang memakai label agama juga ikut-ikutan sibuk memasukkan kurikulum karakter. Jadi selama ini persekolahan berlabel agama tidak “berkarakter” tho?? Aneh.
Seminar-seminar dan perdebatan panjang bagaimana “mencangkok” pendidikan karakter dalam pendidikan menjadi wacana dan kebingungan dimana-mana. Layaknya orang yang ingin memberi pupuk organik di lahan yang kaya pupuk kimia dan pestisida. Lahir kurikulum 2013, yang memasukkan karakter dalam semua mata pelajaran. Tambah pusing lagi para Guru-Guru, walau dijanjikan kurikulum “siap pakai” layaknya Mie Instant.
Belum kelar urusan pendidikan karakter yang menjadi perdebatan menghabiskan anggaran dan waktu pembahasan dari hotel ke hotel hampir satu dekade, kemudian orang disadarkan kembali pentingnya pendidikan holistik integratif. Bahwasannya matapelajaran yang terkotak-kotak itu (peninggalan kolonial) harus dibuat integratif tematis.
Maka baju persekolahan yang bernama “kurikulum” kembali di tambal-sulam, gunting sana, gunting sini, nampak compang camping namun berusaha terlihat ilmiah. Terlihat kepanikan yang luarbiasa, ingin berkompetisi menjadi seperti “bangsa lain”, namun yang terlihat linglung dan bingung. Indonesia rontok di semua ukuran pendidikan dunia.
Pemusatan dan penyeragaman sistem persekolahan ternyata hanya menambah kekacauan semesta pendidikan, korbannya siapa lagi kalau bukan anak-anak kita generasi mendatang. Yang jelas peradaban bangsa ini ada di ujung tanduk kehancuran akibat sistem pendidikan peninggalan kolonial yang coba diutak atik, tambal sulam sana sini.
Kesadaran Baru – Kembali ke Fitrah Keragaman
Sir Ken Robinson dalam salah satu pidatonya di TED, menyatakan bahwa sistem pendidikan tidak cukup direformasi, bahwa reformasi tidak cukup kuat untuk merubah persekolahan. Sir Ken mengusulkan agar sistem pendidikan harus dirubah secara mengakar (radikal) alias direvolusi.
Revolusi pendidikan sesungguhnya adalah mengembalikan pendidikan kepada kesejatiannya, kepada pendidikan berbasis potensi keunikan atau fitrah keberagaman, yaitu:
1. Sistem Pendidikan harus berbasis potensi keunikan/kekuatan individu. Memang ada yang menganggap bahwa menggunakan Kecerdasan Majemuk sudah mengakomodasi potensi keunikan individu, tetapi selama kecerdasan masih menjadi ukuran, hanya dipakai untuk memanipulasi gaya belajar dan gaya mengajar sementara obyek pembelajaran masih kotak-kotak akademis yang tidak berelasi dengan potensi keunikan individu, alam dan masyarakat, nampaknya tidak ada gunanya.
2. Sistem pendidikan harus berbasis potensi keunikan/keunggulan lokal. Belajar sains, sejarah, sastra, bahasa, teknologi dsbnya menjadi “tidak bunyi” ketika tidak konteks dan berelasi dengan realita potensi alam dan masyarakat. Anak-anak nelayan belajar fisika, kimia, matematika, bahasa yang tidak “ngobrol” dengan tema2 kehidupannya sebagai anak nelayan yang berbasis perikanan dan kelautan adalah hal paling konyol dalam dunia pendidikan.
3. Sistem pendidikan harus berbasis realita sosial dan problematikanya. Anak-anak generasi Indonesia harus mampu menjadi problem solver atas realita problematika desa/komunitas/daerahnya. Inilah pendidikan karakter kepemimpinan yang paling “basic”. Jam-jam yang dihabiskan belajar karakter di depan kelas, hanya akan ke “laut” apabila tidak konteks dan berelasi dengan realitas keseharian dan problematikanya. Belajar teknologi, sains, sejarah, bahasa, ekonomi dll harus bisa direlasikan dalam bentuk solusi-solusi sosial.
4. Sistem pendidikan harus berelasi kuat dengan Sistem Nilai (Agama) yang dianut. Inilah jantung dari semua pendidikan. Anak-anak harus memiliki prinsip hidup yang kuat, sehingga semua potensi dan karunia yang Allah swt berikan pada dirinya, bumi dan alamnya, lokalitas kehidupannya menjadi manfaat yang besar dan keberkahan.
Tanpa berbasis potensi keberagaman yang meliputi potensi keunikan individu, potensi keunikan alam, potensi keunikan kehidupan dan potensi sistem kehidupan lalu mengintegrasikan semuanya dalam sistem pendidikan, maka percaya atau tidak sistem persekolahan kita hanya akan berjalan di tempat.
Ibarat lahan yang kebanyakan pupuk kimia dan pestisida hasil pertanian kolonial, maka jika ingin membuat pertanian organik yang sesuai fitrah maka tiada cara lain kecuali mengkonservasi lahan secara besar-besaran, tidak bisa tambal sulam. Begitu juga sistem pendidikan kita, harus dikonservasi dan dirubah secara radikal.