Peringatan Hari Guru telah berlalu. Sudah 2 hari Bloger yang berprofesi selaku guru ini mencari insfirasi untuk dapat menuangkan sejumlah gagasan soal guru dalam momentum peringatan hari guru tersebut. Akhirnya sebuah kejadian menggelitik pemikiran Blogger.
Seorang sahabat yang juga seorang guru suatu sore mengeluh soal betapa beratnya beban seorang guru di masa kini. Beban pendidikan telah demikian berat sehingga siswa harus belajar di sekolah menengah ini dari pagi hingga sore, hampir seluruh waktu telah tersita. Tiada waktu bagi jiwa muda yang kreatif dan penuh imajinasi dan petualangan itu untuk tidak berkutat dibangku yang sama dan "meringkuk" dengan rutinitas yang menyita dan membuat mereka semakin dilanda kebosanan dan semakin jauh dari realitas dunia. Demikian pula tugas seorang guru semakin melilit dan mulai ke titik "tidak masuk akal" yang mustahil dijalani tanpa sedikit tekanan perasaan dan beban mental.
Sang teman lalu menceritakan apa yang ia sampaikan dengan siswanya yang tampak kelelahan bosan dan mengantuk tersebut " Bosan kalian nak? ketahuilah jika kalian bosan melihat wajah Ibuk, maka Ibuk lebih bosan lagi melihat wajah kalian", la hawlawala quwwata illa billah,... demikianlah, tanpa berpretensi yang bukan-bukan dan menghakimi, Bloger menjadikan penggalan kalimat dialog tersebut sebuah ungkapan nestapa menjadi guru saat ini dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai sebuah puncak gunung es dari beratnya persoalan yang menghadang dunia pendidikan kontemporer dewasa ini dan besarnya tanggung jawab dan rintangan yang harus dihadapi guru.
Menjadi guru di era kontemporer ini sungguhlah berat. Tuntutan demi tuntutan semakin menghimpit sehingga guru senantiasa terbebani oleh perasaan bersalah. Dan itu diperburuk lagi oleh atmosfer bahwa setiap ada kegagalan di dalam pencapaian standarisasi mutu pendidikan, "biang keroknya" adalah selalu guru, selalu guru yang dituding sebagai penyebab semua kegagalan. Guru sekarang ini selalu "diuber-uber" oleh berbagai supervisi dan pemeriksaan administratif yang semua mempunyai dead line yang tidak masuk akal. Di sinilah anehnya, sistem pendidikan di negara ini semakin hari semakin bersifat verbalistik dan formalistik. Verbalistik di sini maksudnya orang hanya peduli dengan polesan kata-kata yang miskin fakta dan miskin kejujuran. Kita saksikan saban tahun laporan penuh "rasa bangga" akan capaian UN yang fantastis dari para pemegang kebijakan pendidikan. Padahal semua tahu bahkan sang pemegang kebijakan itu sendiripun tahun betapa buruknya pelaksanaan UN tersebut dan betapa tidak mewakili gambaran sebenarnya dari kemampuan para siswa dan pelajar. Formalistik berarti capaian pendidikan telah berubah sekedar laporan di atas kertas, serta hanya tinggal pada level administratif yang penuh dengan "kepalsuan". Kebijakan-kebijakan semakin tidak realistis dan semakin labil dan tidak adaftif.
Dahulu ada banyak waktu untuk berbincang dengan siswa berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Sekarang saat jam kosong guru akan segera tenggelam oleh tugas dan administrasi yang seakan tiada habis-habisnya dan mulai ketitik "mustahil" untuk dituntaskan. Mereka juga sudah tidak punya waktu lagi berkiprah dimasyarakat, mereka juga sangat merasa kepayahan menyesuaikan profesionalitas mereka dengan hak keluarganya sendiri yang mulai terabaikan. Mereka juga sangat kepayahan mencuri-curi waktu untuk bisa shalat jamaah di masjid dan melakukan shalat Sunnah. Masyarakat tiap hari hanya melihat sosok yang tampak serba terbirit-birit ke sana ke mari dalam keadaan bergegas dan resah dengan wajah tegang yang tampak tertekan. Semua perangkat administrasi ini jika benar-benar dilaksanakan, benar-benar menghabiskan kertas begitu banyak (itupun jika sang guru tidak ingin terus menerus ada di depan laptop yang membuat mata mereka semakin membutuhkan kaca mata yang tebal) sehingga tiada hari tanpa menulis dan mencatat serta print ini print itu. Bahkan untuk mengatasi itu semua, sebagian guru terpaksa membawa tugas-tugas administrasi tersebut ke kelas demi laporan administratif nan sempurna bahwa proses pembelajaran telah purna mencapai tujuannya dan sukses.
Zaman dahulu guru adalah sosok sederhana yang selalu digugu dan ditiru. Mereka adalah orang yang sangat dihormati di masyarakat. Meskipun mereka hidup dalam keadaan memprihatinkan secara ekonomi, mereka adalah orang-orang yang merdeka dan melakukan banyak hal yang bermakna. Jiwa merdeka ini justru melahirkan sosok-sosok bertanggung jawab dan mempunyai integritas.
Dewasa ini menjadi guru adalah sebuah derita batin yang berat ketika himpitan demi himpitan standarisasi pendidikan yang serba "karbitan" dan "kebijakan-kebijakan" yang serba membingungkan. Begitu banyak perubahan yang harus dilakukan oleh guru, begitu banyak sebenarnya target yang tidak masuk akal yang mereka kejar, ibarat kendaraan, guru-guru dewasa ini sering disuruh lewat diberbagai jalan dan medan yang terkadang kendaraan tersebut tidak dirancang untuk mereka. Terkadang begitu banyak belitan tugas administratif yang diderita oleh para guru ini seolah dirancang untuk membunuh "hati nurani" mereka. Ketika guru senantiasa dikejar-kejar dan senantiasa "meras bersalah" dan dilanda "beban mental telah berbuat tidak benar" maka saat itu mereka dalam posisi tawar yang kecil dan mudah untuk di otak-atik, atau bahkan dijadikan kelinci percobaan ataupun sebagai kambing hitam atas berbagai "uji coba" reformasi pendidikan tanpa banyak kritik dan komentar lagi.
Kesejahteraan ekonomi semakin diperbaiki, namun begitu banyak otonomi dan harga diri mereka dipangkas.Meskipun guru-guru dewasa ini telah banyak memiliki kendaraan mobil pribadi dan tampak makmur, namun sekarang, siswa sekalipun akan berani bicara yang bukan-bukan dengan mereka yang jika dibandingkan zaman dahulu, seorang siswa akan menghindar berpapasan dengan seorang guru karena wibawa dan rasa hormat.
Kita saksikan juga tumpang tindihnya antara politik dan pendidikan telah menyebabkan institusi pendidikan diarahkan oleh politikus. Banyak sekali kepala dinas bahkan menteri sejatinya bukanlah seorang praktisi atau orang yang profesional di bidang pendidikan namun hanya orang tertentu yang menjadi perpanjangan para penguasa.
Mengapa wibawa dan harga diri guru terus menerus mengalami degradasi dewasa ini? apakah semua ini konsekuensi dari pola sistem pedidikan itu sendiri yang telah kehilangan arah?
Sang teman lalu menceritakan apa yang ia sampaikan dengan siswanya yang tampak kelelahan bosan dan mengantuk tersebut " Bosan kalian nak? ketahuilah jika kalian bosan melihat wajah Ibuk, maka Ibuk lebih bosan lagi melihat wajah kalian", la hawlawala quwwata illa billah,... demikianlah, tanpa berpretensi yang bukan-bukan dan menghakimi, Bloger menjadikan penggalan kalimat dialog tersebut sebuah ungkapan nestapa menjadi guru saat ini dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai sebuah puncak gunung es dari beratnya persoalan yang menghadang dunia pendidikan kontemporer dewasa ini dan besarnya tanggung jawab dan rintangan yang harus dihadapi guru.
Menjadi guru di era kontemporer ini sungguhlah berat. Tuntutan demi tuntutan semakin menghimpit sehingga guru senantiasa terbebani oleh perasaan bersalah. Dan itu diperburuk lagi oleh atmosfer bahwa setiap ada kegagalan di dalam pencapaian standarisasi mutu pendidikan, "biang keroknya" adalah selalu guru, selalu guru yang dituding sebagai penyebab semua kegagalan. Guru sekarang ini selalu "diuber-uber" oleh berbagai supervisi dan pemeriksaan administratif yang semua mempunyai dead line yang tidak masuk akal. Di sinilah anehnya, sistem pendidikan di negara ini semakin hari semakin bersifat verbalistik dan formalistik. Verbalistik di sini maksudnya orang hanya peduli dengan polesan kata-kata yang miskin fakta dan miskin kejujuran. Kita saksikan saban tahun laporan penuh "rasa bangga" akan capaian UN yang fantastis dari para pemegang kebijakan pendidikan. Padahal semua tahu bahkan sang pemegang kebijakan itu sendiripun tahun betapa buruknya pelaksanaan UN tersebut dan betapa tidak mewakili gambaran sebenarnya dari kemampuan para siswa dan pelajar. Formalistik berarti capaian pendidikan telah berubah sekedar laporan di atas kertas, serta hanya tinggal pada level administratif yang penuh dengan "kepalsuan". Kebijakan-kebijakan semakin tidak realistis dan semakin labil dan tidak adaftif.
Dahulu ada banyak waktu untuk berbincang dengan siswa berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Sekarang saat jam kosong guru akan segera tenggelam oleh tugas dan administrasi yang seakan tiada habis-habisnya dan mulai ketitik "mustahil" untuk dituntaskan. Mereka juga sudah tidak punya waktu lagi berkiprah dimasyarakat, mereka juga sangat merasa kepayahan menyesuaikan profesionalitas mereka dengan hak keluarganya sendiri yang mulai terabaikan. Mereka juga sangat kepayahan mencuri-curi waktu untuk bisa shalat jamaah di masjid dan melakukan shalat Sunnah. Masyarakat tiap hari hanya melihat sosok yang tampak serba terbirit-birit ke sana ke mari dalam keadaan bergegas dan resah dengan wajah tegang yang tampak tertekan. Semua perangkat administrasi ini jika benar-benar dilaksanakan, benar-benar menghabiskan kertas begitu banyak (itupun jika sang guru tidak ingin terus menerus ada di depan laptop yang membuat mata mereka semakin membutuhkan kaca mata yang tebal) sehingga tiada hari tanpa menulis dan mencatat serta print ini print itu. Bahkan untuk mengatasi itu semua, sebagian guru terpaksa membawa tugas-tugas administrasi tersebut ke kelas demi laporan administratif nan sempurna bahwa proses pembelajaran telah purna mencapai tujuannya dan sukses.
Zaman dahulu guru adalah sosok sederhana yang selalu digugu dan ditiru. Mereka adalah orang yang sangat dihormati di masyarakat. Meskipun mereka hidup dalam keadaan memprihatinkan secara ekonomi, mereka adalah orang-orang yang merdeka dan melakukan banyak hal yang bermakna. Jiwa merdeka ini justru melahirkan sosok-sosok bertanggung jawab dan mempunyai integritas.
Dewasa ini menjadi guru adalah sebuah derita batin yang berat ketika himpitan demi himpitan standarisasi pendidikan yang serba "karbitan" dan "kebijakan-kebijakan" yang serba membingungkan. Begitu banyak perubahan yang harus dilakukan oleh guru, begitu banyak sebenarnya target yang tidak masuk akal yang mereka kejar, ibarat kendaraan, guru-guru dewasa ini sering disuruh lewat diberbagai jalan dan medan yang terkadang kendaraan tersebut tidak dirancang untuk mereka. Terkadang begitu banyak belitan tugas administratif yang diderita oleh para guru ini seolah dirancang untuk membunuh "hati nurani" mereka. Ketika guru senantiasa dikejar-kejar dan senantiasa "meras bersalah" dan dilanda "beban mental telah berbuat tidak benar" maka saat itu mereka dalam posisi tawar yang kecil dan mudah untuk di otak-atik, atau bahkan dijadikan kelinci percobaan ataupun sebagai kambing hitam atas berbagai "uji coba" reformasi pendidikan tanpa banyak kritik dan komentar lagi.
Kesejahteraan ekonomi semakin diperbaiki, namun begitu banyak otonomi dan harga diri mereka dipangkas.Meskipun guru-guru dewasa ini telah banyak memiliki kendaraan mobil pribadi dan tampak makmur, namun sekarang, siswa sekalipun akan berani bicara yang bukan-bukan dengan mereka yang jika dibandingkan zaman dahulu, seorang siswa akan menghindar berpapasan dengan seorang guru karena wibawa dan rasa hormat.
Kita saksikan juga tumpang tindihnya antara politik dan pendidikan telah menyebabkan institusi pendidikan diarahkan oleh politikus. Banyak sekali kepala dinas bahkan menteri sejatinya bukanlah seorang praktisi atau orang yang profesional di bidang pendidikan namun hanya orang tertentu yang menjadi perpanjangan para penguasa.
Mengapa wibawa dan harga diri guru terus menerus mengalami degradasi dewasa ini? apakah semua ini konsekuensi dari pola sistem pedidikan itu sendiri yang telah kehilangan arah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar