Rabu, 30 Juli 2014

5 Tantangan Abadi Terhadap Agama: Seri 1

Argumen Desain dalam Menjawab Tantangan pertama

Di Blog ini, penulis mengembangkan berbagai argumentasi yang akan membantah dua kecendrungan dalam sikap terhadap keagamaan di era modern ini yang melahirkan konsep "modernisme" yang salah dikalangan muslimin. Dalam hemat penulis, dua kecendrungan ini berangkat dari tantangan yang diajukan oleh dunia modern terhadap umat beragama atau sikap keimanan khususnya umat Islam.

Tantangan terbesar adalah dari program sekularisme yang dimotori oleh sains yang membawa dua kecendrungan, sikap menolak agama atau sikap fanatik yang jumud namun "tanggung dan munafik". Pertama dirintis oleh kalangan Islam liberalis yang ujung spektrumnya mulai kaum agnostisme dan ateisme yang karena terpaksa hidup dalam lingkungan umat Islam harus berasimilasi dan mengidentifikasikan diri dalam pola Islam liberal modern hingga kaum liberal "saleh" namun "gila" yang meyakini semua agama adalah setara secara "transenden" dan menyerukan penghapusan segala diferensiasi, kecendrungan ini akan melahirkan usaha penafsiran ulang dan total terhadap keberagaan umat Islam di era modern. Kedua di rintis oleh bentuk "kegilaan" lainnya yaitu gila "kemurnian" yang ditafsirakn dengan cara "kaku" dan jumud. Namun varian ini bisa ditunjukkan adalah sebentuk modernisme juga yang terlihat dari ciri reformisnya yang "emosional" dan "berdaya ledak" massif. Penulis merenung bahwa bagaimanapun bentuk dan metamorfosa dua kecendrungan ini, akar tunggangya tetap sama yaitu kebingungan dalam menempatkan dan mengapresiasi perkembangan dunia modern khusunya aspek sains dan teknologi dengan segala implikasi sekularnya.

Sikap pertama adalah menolak agama atau melalukan reinterpretasi ulang terhadap semua konsep keyakinan masa lalu dalam keberagamaan secara total; tanpa perlu meletakkan standarisasi lagi, bahkan untuk kerangka jaman salafussaleh saleh sekalipun. Sikap ini biasanya diikuti oleh semangat liberalisme serta kecendrungan melihat agama dengan kaca mata reduksionis saintifik. Yaitu ketika kemajuan peradaban serta sains material begitu menggelinding cepat dengan tanpa hambatan, manusia selanjutnya menemukan banyak tantangan dari persefsi dunia sekular yang agnostik serta ateistik dan sebagian tidak mampu mengelolanya dengan baik, maka mereka yang "kalah" ini akan penuh semangat menyambut program sekularisme saintifik ini sebagai sebuah "keimanan" baru. 

Sikap kedua adalah kecendrungan "fundamentalisme" atau "puritanisme" dalam beragama. Istilah ini sebenarnya kuranglah berkenan di hati penulis karena mengandung stereotif visi-visi sekular pandangan dunia barat yang justru hendak penulis "banteras" dalam tulisan-tulisan penulis. Namun istilah ini telah terlanjur menjadi sebuah terminologi yang populer sehingga menjadi tidak terhindarkan kegunaannya dalam berbagai diskursus wacana-wacana populer soal keberagamaan di era modern. Sikap kedua ini sejatinya adalah orang modern yang berbaju orang lama. Ini juga tak kurang bahayanya, sikap ini diwakili oleh representasi para pembaharu yang menyerukan puritanisme terhadap agama, dengan program-program mereka seperti kembali kepada alqur'an dan sunnah yang semurni-murninya, sikap ini ditandai oleh "ekstrimisme" serta kecendrungan melihat semua geliat dinamika perkembangan Islam khususnya ketika memasuki era modern maupun abad pertengahan sekalipun dalam kaca mata "buruk sangka", mereka juga menderita ketidakmampuan dalam membaca sejarah sehingga mengalami amnesia dan mencoba "tidur" dalam mimpi masa lalu, ketika Islam dalam keadaan jaya dan merasa terluka "harga dirinya" melihat kondisi kaum muslimin yang serba terpuruk di era modern, alih-alih menyalahkan dunia sekular dan mencari solusi sehat terhadap tantangannya, justru mereka memproyeksikan rasa frustasi mereka terhadap umat Islam itu sendiri dengan berbagai sasaran "kemurkaan" dan "tuduhan-tuduhan" sebagai bentuk ketidakterimaan mereka terhadap kondisi yang diderita oleh umat islam di masa ini yang serba kalah hampir di segala lini.

Di lain waktu, akan penulis kembangkan dalam bentuk sebuah artikel juga, bahwa meskipun seolah gerakan varian ke dua ini  begitu teguh kepada kemurnian Islam, namun mereka sebenarnya "korban dari modernisme". Satu sisi jiwa mereka modern, nalar mereka modern, mereka dibesarkan dalam kultur materialisme modern namun ketika berhadapan dengan islam atau ragam lainnya dalam kelompok besar ini adalah mereka yang terlalu hidup dalam visi hitam putih "badui gurun" soal kebudayaan dan nilai-nilai kebenaran namun tiba-tiba dihadapkan dengan hantaman modernisme dan kolonialisme yang menyakitkan, mereka tidak mampu menyerasikan kekayaan warisan Islam tersebut yang terlalu berdimensi "alam ghaib" yang terkadang tidak sesuai dengan visi dunia mereka yang tanpa mereka sadari sebenarnya telah berkiblat pada "visi sekular". Tentu saja "ketegangan batin" akan muncul ke dalam diri orang-orang tersebut. Ketika mereka membaca manuskrip dan manaqib serta ruang atmosfer wawasan yang melingkupi khazanah tersebut, mereka temukan hal-hal yang dalam nalar modern dalam visi sekular sebagai "tidak masuk akal" dan ini menjadi suatu problema bagi mereka yang mendorong mereka melakukan reformasi agama sesuai dengan visi dunia mereka yang serba tanggung dan picik ini, hal ini bisa dilihat melalui lontaran-lontaran mereka berupa tuduhan-tuduhan "khurafat" dan "takhyul" kepada berbagai fenomena yang tidak dapat mereka fahami (dari para ulama dan aulia Allah yang selama beratus tahun tidak ada yang pernah yang begitu menyangsikan otoritas mereka) dalam kerangka pandangan dunia mereka tersebut. Berikut sebuah dialog yang menjelaskan impak gerakan salafisme picik ini bagi modernisme Islam,http://www.youtube.com/watch?v=rXyPpNglBKI

Parahnya lagi varian dari kecendrungan mental seperti ini akan terbuka kedoknya ketika mereka membentuk suatu sistem pemerintahan ketika angin dan arus politik membuat mereka punya kesempatan. Teknik-teknik mereka mewujudkan pembangunan dan memberi arti akan makna progresif juga sangat picik, misalkan dengan membangun gedung-gedung pencakar langit, mall-mall dan hotel megah, kampus-kampus dengan bujet dahsyat dibidang fisik material namun miskin riset fundamental serta berkutat dengan riset-riset aplikatif remeh temeh miskin kreatifitas dan orisinalitas, dan disaat yang sama menghancurkan monumen-monumen dan peninggalan masa lalu. Ini semua menghasilkan benih-benih bagi ekstrimisme dan kegilaan yang serba ingin menghancurkan semua yang berbau masa lalu dan pura-pura berafiliasi kepada para salafussaleh umat ini. Tidak diragukan lagi secara kultural ini representasi kemunafikan kolosal.


Alih-alih mau belajar kepada orang yang memiliki otoritas terhadap terhadap berbagai pengalaman "mistikal" yang menyalahi "konsepsi dunia modern " mereka yang serba "rasional masuk akal" mereka malahan mengambil kesimpulan sendiri dan menyerukan pembrontakan dan penolakan terhadap hal-hal yang sebenarnya hanyalah karena visi-visi tersebut diluar kerangka penalaran dan pengalaman aktual mereka. Ketika usaha "menera" dan "mengkalibrasi Islam yang agung" ini agar sesuai dengan "termometer" mereka yang telah "tercemari sekularisme tanpa sadar tersebut" mereka berhadapan dengan bergunung hambatan dan beribu kesimpulan ulama.

Maka timbullah seruan-seruan mendabik dada bahwa "kesimuplan ulama jangan jadi patokan" tapi yang jadi patokan adalah kesimpulan "alqur'an dan sunnah" bahwa "mereka lelaki kitapun lelaki. Lebih-lebih situasi kehancuran struktur politik Islam dan belengu kolonialisme telah membuat mereka dalam kondisi "marah" begitu rupa. Buntut-buntutnya serangan brutal mereka terhadap konsep dan tatanan lama berlangsung begitu massiv yang selanjutnya dimanfaatkan pula dengan efektif oleh berbagai kekuatan asing tidak bertanggung jawab. Seruan inipun semakin menggema dengan usaha mereka untuk menolak eksistensi "mistisisme Islam" yang dikenal sebagai tassawuf, begitu juga menyerukan penghapusan mazhab yang empat sebagai kerangka dalam memahami syariat Islam.

Sekilas gerakan ini sangat memikat bagi orang yang merindukan kemurnian, lebih-lebih era modern ini telah membuat wawasan manusia menjadi "mosaik" tidak beraturan yang terkadang "keping teka-tekinya" saling tidak konsisten sehingga berwujud pula dalam "skisma dalam diri" yang tidak berkesudahan yang bermuara pada kompleks batin yang berat serta "dahaga spiritual" yang menyiksa. Kesimpulan radikal yang serba hitam putih ini seolah telah menjadi "sanctuary" mereka atas berbagai kebingungan intelektual ini. Lebih lanjut "kompleks batin" tersebut di "katarsiskan pula" dengan semangat "sok salaf" sehingga mereka mengambil simbol-simbol "salaf" secara tekstual dan kaku. Penafsiran mereka terhadap syariat serba kaku dan serba "menimbulkan ketegangan psikologis" dengan pihak-pihak yang bersebrangan. Tidak heran varian faham ini cenderung dikenal melalui gerakan-gerakan radikal serba menentang arus yang identik dengan istilah "preman berjubah". Sikap mereka terhadap hasil modern pun serba ambigu, di satu sisi mereka menolak namun disisi lain mereka penikmat yang paling konsumtif terhadap capaian-capaian dunia modern khususnya teknologi tanpa pernah mampu melahirkan capaian orisinil yang kreatif. Ini hemat penulis situasi  mereka ini lebih merupakan "gejala gangguan jiwa kultural" ketimbang sebuah gerakan intelektual yang matang. Sehinga penulis tidak akan membedah terlalu jauh argumentasi mereka namun hanya mengingatkan latar belakang politis dan sejarah yang sangat mencurigakan agar dapat diwaspadai sedini mungkin.


Orang-orang ini di tandai oleh bersikerasnya mereka dalam simbol-simbol lahiriah Islam di masa lalu, bahkan mereka sepertinya   berusaha memutar roda sejarah, untuk kembali ke jarum detik masa silam. Ini akan melahirkan "fundamentalisme" serta sikap frustasi yang diproyeksikan dalam aksi-aksi radikal dan kekerasan karena memang mereka memposisikan diri dalam posisi yang tidak alami seolah seperti batu cadas yang mencoba menantang arus sungai yang membanjir. Di saat yang sama, sebagai batu cadas mereka juga juga tidak mempunyai akar yang kokoh.

Sikap serba "buruk sangka" dan "frustasi" ini tentu dengan mudah menjadi sasaran empuk bagi kepentingan asing  untuk dimanfaatkan menebar terorisme Global sehingga opini dunia akan terbentuk tentang betapa berbahayanya Islam. Dengan menghantam dari dua sisi, yaitu dengan mengemba gemborkan bahwa betap berbahayanya Islam, disaat yang sama para pengusung ideologi kafir ini juga sibuk mendanai kaum jihadis ekstrim agar semakin gila dan ekstrim dan menebar kekacauan di mana-mana. Tidak satupun gerakan dari kelompok yang berafiliasi kepada fundamentalisme dan kebingungan intelektual ini bisa membangun dalam kerangka "tamaddun" yang jelas dan kokoh.

Hemat penulis lagi, ketika mendapat tantangan lalu kita memilih satu kecendrungan dari dua kecendrungan ekstrim yang ada ini, maka serta merta ini menunjukkan ketidak mampuan kita mengelola tantangan ini.
Kembali penulis tegaskan "manifesto" padangan penulis yang menjadi benang merah terhadap semua tulisan penulis dalam blog ini, bahwa sikap penulis terhadap dua kecendrungan ini, jika di ibaratkan dengan seseorang dengan bajunya, maka penulis adalah seseorang yang tua (orang lama dan kampungan) namun berbaju modern. Penulis teringat dengan saran "guru spiritual penulis" hendaklah engkau menjadi orang lama berbaju modern, janganlah engkau jadi orang modern berbaju lama, atau orang modern berbaju modern. Ungkapan guru penulis ini sangat tepat menggambarkan situasi ini.

Dalam pandangan penulis Blog ini, varian pertama liberalisme islam adalah sosok islam modern yang sebenarnya sama sekali baru dan "sebenarnya sudah bukan Islam".  Artinya Islam liberal sebagai suatu sikap dalam menghadapi tantangan modern ini adalah pola keislaman dari orang-orang yang sebenarnya telah menerima program sekular sebagai sebuah keimana baru namun  masih sungkan untuk menunjukkan identitas mereka yang sudah berbeda dan terpaksa mengambil sikap "sinkretik" dalam masalah ini.


Untuk lebih kongkritnya secara reflektif penulis kembali menegaskan akidah dan keyakinan penulis, bahwa penulis adalah seseorang yang berakidah ahlussunnah waljamaah, berakidah asyariah, bermazhab Piqh Imam Syafii, berjiwa lama serta menghormati semua warisan islam masa lalu tanpa membeda-bedakannya, dan menjawab tantangan dunia modern dengan segenap aktualitasnya dalam keasadaran kekinian dan modern, seraya tetap mempertahankan ruh yang asli, yaitu jiwa "orang-orang lama" , kalau dibuatkan ibarat, penulis berusaha mengambil sikap sebagai sebuah bambu yang hidup di tepi tebing sungai yang berair deras, sang bambu itu hidup dan tetap mengakar dari rumpun yang telah berumur ratusan tahun, namun urat-uratnya terus salin menjalin dangan induknya untuk semakin kuat menahan hantaman arus dan gelombang, seraya tetap kedepan tumbuh gagah membentuk bendungan alam untuk merubah arus sungai ke arah yang diinginkan dan menyelamatkan tebing dari kehancuran. Sehingga ketika penulis bergulat dengan arus modernisme yang keras penulis tetap berusaha mengingat jati diri penulis yang asli dan tidak pernah melupakan ini di alam bawah sadar setidaknya.

Tantangan pertama dari  dunia modern yang sekular dan saintifik adalah gugatan terhadap hal yang paling fundamental  dalam agama yang sepenuh perjalanan peradaban manusia, hampir tidak pernah manusia mengajukan gugatan seperti ini, selain hanya terjadi di era modern ini belaka. Gugatan tersebut adalah "Benarkah Tuhan Ada?",....nah, dalam artikel kali ini penulis sebagai orang beriman akan menjawab tantangan tersebut dengan antusias dan "gembira" tanpa rasa gentar dengan berbagai argumentasi yang penulis angkat dari berbagai wawasan yang ada.

Dalam artikel ini akan penulis angkat jawabnya dari argumen desain. Penulis tidak akan bersikap "pengecut" seperti ditampilkan oleh kelompok kedua di atas yang mengklaim pertanyaan tersebut "tidak penting" dan mengada-ngada, dan menutup mata betapa wawasan sekular telah bercokol di batang hidungnya menuntut untuk ditebas, dan bermimpi dengan nostalgia masa lalu "bahwa para sahabat tidak pernah menanyakan ini". Memang persoalan generasi salafussaleh ketika itu bukan soalan-soalan seperti yang dihadapi manusia era modern yang penuh "kekafiran" ini, namunsituasi baru membuat hal ini tidak boleh dibiarkan dan dituntut "dakwah" yang welas asih untuk menjelaskan "manusia kafir yang penuh ingin selidik" di jaman modern ini, ketimbang mendiamkannya dengan hardikan yang garang yang membuat mereka semakin apriori terhadap agama. Juga bukan sikap pertama dari kaum liberalis yang memandang gejala agama ini hanya gejala sosiologis atau psikologis yang akan segera digantikan oleh wawasan sains yang ilmiah, dimana ketika pertanyaan ini mengemuka mereka justru pura-pura menjawab dengan jawaban yang mencerminkan keyakinan tidak jelas yang merefleksikan bahwa justru mereka sebenarnya yang tengah mencari jawaban itu sejatinya.

Untuk menjawab tantangan ini, argumen desain menyatakan bahwa tatanan yang rumit, konsistensi dan desain yang presisi yang teramati di dalam alam semesta harus dinisbatkan kepada suatu kekuatan yang maha tinggi, maha kuasa, cerdas, dan memiliki tujuan, bukan sekedar dikaitkan dengan kebetulan, atau "hal yang alamiah", seleksi alam, evolusi, lemparan dadu kosmik, atau kekuatan material duniawi lainnya.

Ada dua aspek utama dalam argumen ini: aspek yang berkaitan dengan desain dalam arti tujuan, dan aspek yang berkaitan dengan desain dalam arti keteraturan.

Salah satu pemikir terkemuka barat yang menggunakan argumen desain dalam arti tujuan (argumen teleologis) adalah William Paley (1743-1805).
William Paley (1743-1805)




Ia menggunakan analogi bahwa jika sebuah jam ditemukan, dan ditanyakan dari mana jam itu berasal, akan absurd jika dikemukakan jawaban bahwa jam itu ditemukan begitu saja karena jam itu telah ada untuk selamanya. Jam itu ada karena ada seorang pembuat yang telah membuatnya untuk tujuan tertentu. Dalam kasus ini, jam itu memiliki bagian-bagian yang rumit, yang disatukan dan diberi rangka, dan disesuaikan agar menghasilkan gerakan, yang pada gilirannya diatur guna menyediakan ukuran waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar