Selasa, 01 Juli 2014

Ilmu Tauhid: Kombinasi Dalil Naqli dan Aqli dalam Pembahasan Ilmu Tauhid

Masalah Tauhid- dalam kajian mayoritas ulama Sunni (bukan kelompok sempalan yang belakangan sangat suka mengklaim diri mereka sebagai ahlusunnah yang asli dan memutarbalikkan fakta dan membodohkan masyarakat bahwa hampir seribu tahun yang disebut ahlusunnah itu/akidah asy'ariah bukanlah ahlusunnah, tapi mereka yang baru "kemaren sore" muncul itulah ahlussunnah sejati, hanya Allahlah yang bisa memberi petunjuk kepada orang-orang yang ekstrim ini) yakni Ahlusunnah wal-Jama'ah- tidak hanya dibahas dengan mengetengahkan dalil-dalil naqli (tekstual) baik dari Al-Qur'an maupun al-Hadis tetapi juga diperkuat dengan dalil-dali aqli (rasional) yang diformulasikan sebagai kajian tauhid sifat 20. Hal ini setidak-tidaknya bertujuan:
  1. Pertama: Agar para penentang masalah-masalah Tauhid tersebut dapat menerima dan segera menjadi yakin atau setidaknya menjadi terdiam tidak menentang lagi. Biasanya mereka ini adalah kelompok ateis ataupun agnostik dari luar kelompok islam yang tidak sefaham dan simpatik terhadap doktrin-doktrin ketauhidan dalam islam sehingga cendrung bersikap antitesis dan memojokkan.
  2. Kedua : Agar orang yang ragu-ragu dapat segera menghilangkan kemusykilan dan keragu-raguan dalam hatinya sehingga keyakinannya menjadi kuat dan mantap. Kelompok ini biasanya merupakan kelompok orang yang terbiasa berwacana kritis dari kalangan intelektual yang terkadang tidak segera puas kalau tidak dijelaskan dengan dalil-dalil yang dapat diterima oleh akal mereka

Oleh karena tidak benar jika dikatakan sebagian orang yang belakangan bahwa ilmu tauhid dalam pendekatan ilmu Kalam (tentu ilmu kalam islami bukan ilmu kalam versi filsafat) sebagai sebuah ilmu buah dari diskursus filsafat yunani dari kalangan Filosof yang harus dijauhi. Di antara argumen orang yang terlalu berpikir sederhana ini adalah bahwa alqur'an dan sunnah telah cukup sebagai rujukan tidak perlu lagi dalil-dalil rasio dan pemahaman. 

Tiap kali ada argumentasi dan olah pikir meskipun itu mengkombinasikan alqur'an dan hadis mereka dengan segera menukas itu pemahaman belaka, bukan dari alqur'an dan sunnah. Tentu saja sikap mental seperti ini di era keterbukaan informasi dan dialog terbuka akan membuat Islam menjadi agama kaku nan jumud. Lagi pula akan selalu terbuka pertanyaan, ketika seseorang mengklaim bahwa dia memahami alqur'an dan hadist dan bukan pemahaman sendiri, bukankah itu juga berarti dia menyuguhkan pemahaman dia sendiri terhadap alquran dan hadist tersebut. Jikapun tidak dia nantinya ternyata taqlid dengan ulama tertentu,..jika mereka berkilah, oh kami tidak jumud pemikirannya, kami tidaklah bertauhid menurut ulama-ulama, kami dari alqur'an dan sunnah, kami tidak jumud dengan imam Abu Hasan Asy'ari, namun jika kita jeli apa yang mereka katakan dari alqur'an dan sunnah itu ternyata suatu pemahaman terhadap Nash dari ulama-ulama yang mereka gandrungi dan yakini, dan inipun satu bentuk Taqlid. Suka atau tidak suka.

Pungkas kata, apakah mereka berinteraksi dengan Nash sama sekali tidak mengaktifkan akalnya? dan ketika akalnya diaktifkan bukankah itu juga namanya penalaran dan pemahaman, memangnya kalau tidak pakai akal mereka memakai apa dalam memahami Nash?,..pakai dengkul?. Jelas di sini ungkapan-ungkapan tersebut lebih bersifat slogan ketimbang suatu prinsip yang kokoh dan operasional. Oleh karena itu dalam kajian Ilmu Tauhid kali ini dalam rangka Ta'lim Akidah Ahlusunnah waljamaah sebagaimana difahami oleh orang2 tua kita jaman dahulu selama beratus tahun di nusantara ini kita akan tetap penuh semangat mengkaji ilmu Tauhid sifat 20, dan orang-orang yang omongannya tidak karuan tidak usah kita pedulikan sama sekali.

Al Imam Ghazali yang digelari sebagai Hujjatul Islam, menulis dalam kitabnya Qawa'id Al Qawa'id, yaitu setelah beliau rhm memaparkan pro kontra tentang status ilmu Kalam dalam khazanah pemikiran Islam, "Jika Anda bertanya, "ketika kebutuhan akan ilmu kalam sudah diketahui, yaitu untuk menolak para ahli bid'ah, sementara penyebaran bid'ah di zaman sekarang semakin meraja lela (ini di zaman Imam Ghazali, apalagi di zaman kontemporer ini dimana segala macam kebid'ahan muncul dengan gencar), tentu kebutuhan terhadap ilmu kalam tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam keadaan seperti ini, mempelajari ilmu Kalam menjadi fardhu kifayah, seperti halnya tugas menjaga harta dan seluruh hak lainnya? Apa yang tidak menjadi perhatian para ulama salaf, yaitu menyebarkan ilmu Kalam, mengkaji dan menelitinya, akan segera berlangsung. Dan jika ditinggalkan secara total, maka ilmu Kalam akan hancur lebur. Dan jika Ilmu Kalam tidak dipelajari, tentu tidak akan ada lagi usaha untuk membedah kerancuan yang dihembuskan ahli bid'ah. Dengan demikian, pada zaman ini mengkaji dan meneliti ilmu Kalam menjadi bagian dari Fardhu Kifayah. Berbeda dengan zaman para sahabat, karena pada saat itu kebutuhan terhadap ilmu kalam tidak mendesak." Demikian uraian Imam Ghazali. Sebagaimana kita ketahui di zaman ini, gempuran demi gempuran ateisme dan kekafiran sudah tidak terperikan lagi. Informasi dan akses menuju itupun dengan mudah dapat ditemukan, sehingga urgensi mengkaji dalil-dalil terbaik dalam membantah pemikiran sesat tersebut semakin dirasakan penting.

Pembahasan Tauhid yang disertai dengan dalil-dalil aqli banyak dijumpai dalam tulisan-tulisan para ulama Sunni yakni ulama Ahlussunnah wal-Jamaah terutama sekali golongan khalafnya. Ini semua disebabkan karena di zaman mereka kencendrungan terhadap hujjah aqliah dalil-dalil rasio sebagai penguat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan diseputar akidah dirasakan cukup besar. Sebagai dikemukakan didepan, mayoritas medan dakwah di era kontemporer adalah menunjukkan semakin banyaknya orang yang sangat kritis dan terlalu mengandalkan dalil-dalil rasio, sehingga ketika kita tidak menghadapi mereka tidak menyelami cara pikir mereka maka agama akan mereka tolak dan mereka permainkan, dan tentu ini bukanlah merupakan sasaran akhir dakwah yang berhikmah. Namun demikian bukan berarti bahwa di zaman Nabi dan para ulama salafus salih tidak ditemukan pembahasan Tauhid yang diperkuat dalil-dalil rasional. Musthafa Hilmi dalam kitabnya Manhaj Ulama' al Hadis was Sunnah fi Ushuulid Din menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah terlibat dalam suatu forum semacam diskusi dengan pihak utusan kristen dari Najran sekitar ketuhanan Isa AS. Beliau dengan kekuatan hujjahnya yang rasional dapat mematahkan keyakinan utusan kristen itu, namun mereka tetap dalam keyakinannya meskipun mengaku kalah dalam diskusi tersebut. 

Pembahasan rasional juga dibutuhkan untuk memahami maksud suatu Nash agar memiliki makna yang tepat dan benar serta tidak bertentangan dengan dalil-dalil lainnya. Contohnya adalah firman Allah SWT "Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (al-Baqarah:20). Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah memliki sifat Qudrat (Maha Kuasa) dan disebutkan bahwa Qudrat Allah itu meliputi segala sesuatu. Maka secara rasio bisa saja orang mengalami sesat pikir dan memahami bahwa Allah itu berkuasa melakukan segala sesuatu termasuk menciptakan sekutuNya atau membinasakan zatNya sendiri. Pemahaman seperti ini jelas sangat membahayakan akidah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar