Infiltrasi “Sekularisme” dalam Kurikulum 2013

Dalam bukunya, Islam and Secularism (terbit pertama tahun 1978), pakar pemikiran Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebut tiga komponen proses sekularisasi dalam pemikiran manusia, yaitu: (1) disenchantment of nature (pengosongan alam dari semua makna spiritual); (2) desacralization of politics (desakralisasi politik); dan (3) deconsecration of values (pengosongan nilai-nilai agama dari kehidupan).

Sementara itu, pemikir Kristen Harvey Cox, dalam buku terkenalnya, The Secular City, menyebutkan definisi sekularisasi adalah: “pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one).

Menyimak kedua definisi itu, pada intinya, sekularisasi adalah proses pengosongan pemikiran manusia dari nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai agama. Dengan makna seperi itu,  sekularisasi jelas bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” 

Dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga disebutkan tentang tujuan Pendidikan Tinggi di Indonesia, yaitu: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. 

Itulah tujuan Pendidikan Nasional. Maka, tidak aneh dan sudah sepatutnya, jika Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi inti pada penghayatan dan pengamalan ajaran agama para murid sekolah/universitas. Kita perlu memberikan apresiasi positif terhadap niat pemerintah dalam menyusun Kurikulum 2013, karena menempatkan agama sebagai hal yang penting dalam dunia pendidikan nasional. 

Hanya saja, setelah mencermati sejumlah buku ajar dari Kurikulum 2013 yang digunakan di berbagai sekolah, kita menemukan masih dominannya pengajaran paham sekularisme, yang secara terang-terangan membuang ajaran Islam dan mempromosikan paham-paham materialisme, positivisme, relativisme, dan pluralisme.  Bahkan, secara tegas dan sistematis, ada buku ajar yang menyingkirkan Islam dan ajaran-ajarannya. 

Sebagai contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), disebutkan, bahwa kompetensi inti pelajaran ini adalah: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.”  Sedangkan kompetensi dasarnya adalah: “Menghargai perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia dalam kehidupan di sekolah dan masyarakat.” 

Anehnya, buku ini dibuka dengan bab  “Sejarah Perumusan Pancasila”  yang menyebutkan, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan.  Sama sekali buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila. Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab. 

Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”  Hanya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengertian Islam.  

Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila,  (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal. 31). “Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat   Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.” (hal. 34).

Argumentasi Prof Hazairin tersebut sangat masuk akal. Sebab, dalam ajaran Islam, sekedar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan belum memenuhi konsep Tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam al-Quran, Iblis disebut kafir (abaa wastakbara wa-kaana minal kaafirin). Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa tetapi membangkang terhadap aturan-aturan Allah SWT. 

Pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep Tauhid ditegaskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan, diantaranya: (1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.(3) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009). 

Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada  pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.”  (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224). 

Jadi, bisa disimpulkan,  buku Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tersebut jelas-jelas telah berusaha menjauhkan murid-murid Muslim dari agamanya, karena Pancasila hanya dipahami dalam perspektif  sekular yang dijauhkan dari nilai keislaman. Materi ajar seperti ini pada ujungnya akan mempertentangkan antara Islam dan Pancasila, sebab Pancasila ditempatkan sebagai satu pandangan hidup dan pedoman amal tersendiri, yang ditempatkan sebagai tandingan bagi pandangan hidup Islam. Akhirnya anak didik diarahkan menjadi sekular; didorong untuk membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan. Minimal, anak didik dipaksa bersikap mendua atau munafik; pura-pura menerima ajaran Pancasila yang sekular, sementara ia pun harus menerima pandangan hidup Islam.  
Contoh lain dari buku ajar yang mendorong anak didik menjadi sekuler bisa dilihat dalam buku berjudul “Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X”, yang juga berdasarkan Kurikulum 2013. Buku ini terbitan sebuah penerbitan terkenal. Pada Bab II, tentang Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia, disebutkan bahwa Karakter yang dikembangkan dalam pembahasan ini adalah: “Mensyukuri kebesaran Pencipta dan bertakwa kepada-Nya.  Mempelajari secara ilmiah terjadinya alam semesta mengarahkan siswa untuk sadar bahwa di balik segala peristiwa sejarah, Tuhan memiliki maksud dan tujuan yang mulia untuk kita, dan karena itu mendorong kita untuk berserah hanya kepada-Nya.” 
Jadi, karakter yang dituju dalam buku ini sangat baik. Akan tetapi, anehnya, dalam pembahasan tentang sejarah manusia Indonesia tersebut, tidak ada sama sekali rujukan wahyu Allah. Semua pembahasan hanya berlandaskan empirisisme dan rasionalisme.  Jelas, di benak penulis buku ajar ini, ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan alam semesta dan sejarah penciptaan manusia dan juga asal-usul manusia, tidak dianggap sebagai sumber ilmu, sehingga tidak dimasukkan ke dalam kategori “ilmiah”. 
Di halaman 77, 92, dan 93 ditampilkan lukisan nenek moyang bangsa Indonesia yang memperlihatkan sebuah keluarga homo erectus yang – katanya – berumur sekitar 900 tahun yang lalu, dimana mereka dilukiskan sebagai manusia purba yang mulutnya monyong dan bertelanjang bulat.  Pada bagian rangkuman (hal. 81) dikutip pendapat Charles Darwin (1809-1882) yang menyatakan, bahwa: “Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.” 
Dikatakan dalam buku ini, bahwa  pendekatan agama dan pendekatan sains (ilmu pengetahuan) dalam upaya memahami realitas alam semesta adalah berbeda. “Agama berada dalam tingkat eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki otonomi masing-masing. Itu tidak berarti keyakinan keagamaan tidak rasional. Perasaan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tetap dapat dijelaskan secara rasional. Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.” (hal. 81). 
Cara pandang terhadap agama dan sains semacam itu jelas-jelas bersifat sekular. Itu jelas keliru.  Cara berpikir  semacam ini juga merupakan dogma yang diyakini oleh ilmuwan sekular. Itu merupakan kesalahan epistemologis, yang memisahkan panca indera dan akal sebagai sumber ilmu, dengan khabar shadiq (true report)  -- dalam hal ini wahyu Allah -- sebagai sumber ilmu. Padahal, dalam konsep keilmuan Islam, ketiga sumber ilmu itu diakui dan diletakkan pada tempatnya secara harmonis. Dalam Kitab Aqaid Nasafiah – kitab aqidah tertua yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu – dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga, yaitu: panca indera, akal, dan khabar shadiq. 
Sistem keilmuan sekular dan ateistik tidak mengakui “wahyu” sebagai sumber ilmu, karena wahyu dianggap sebagai dogma yang tidak ilmiah. Padahal, pada saat yang sama, ilmuwan sekular itu pun menerima berita-berita yang dibawa oleh para anthropolog dan ilmuwan ateis, tanpa proses verifikasi. Mereka menolak berita dari al-Quran, tetapi menerima berita dan dugaan-dugaan dari Charles Darwin dan sejenisnya. Itu juga menjadi dogma bagi ilmuwan ateis itu. Darwin ditempatkan sejajar dengan Nabi. 
Teori manusia purba adalah suatu rekaan dari penyusunan tulang belulang makhluk purba yang kemudian difantasikan ke dalam wujud manusia purba atau manusia goa (cave man) yang telanjang, mulutnya monyong, dan hidupnya hanya untuk cari makan sebagaimana layaknya binatang. Cara pandang ini berangkat dari anggapan bahwa manusia adalah makhluk “materi” yang merupakan kumpulan tulang dan daging. Ilmuwan-ilmuwan ateis ini tidak memandang manusia sebagai kesatuan antara jasad dan ruh (jiwa). 
Bahkan, dalam pandangan Islam, unsur terpenting dari manusia adalah jiwanya. Karena itu, jika mendefinisikan manusia, maka definisi yang terpenting adalah definisi tentang jiwanya. Teori perkembangan fosil manusia hanyalah menyentuh aspek jasadiah, yang tidak substansial sebagai manusia. Suatu makhluk baru disebut manusia jika ia punya jiwa atau punya akal; tidak masalah apakah jalannya ngesot atau tegak; apakah mulutnya monyong atau tidak. Jiwa atau akal manusia itu tidak mengalami evolusi. Dan sumber informasi tentang jiwa atau akal hanyalah dari wahyu. Karena sains menolak wahyu, maka sains pun akhirnya tidak mampu memahami manusia secara sempurna. 
Ironis, bahwa teori sains yang sekularistik dan ateistik semacam ini, masih dipaksakan diajarkan kepada anak-anak murid di sekolah. Teori semacam ini jelas bertentangan dengan konsep keilmuan dan keimanan dalam Islam yang Tauhidik. Sangat disayangkan, bahwa kurikulum 2013 yang memiliki tujuan yang baik akhirnya masih juga disusupi dengan paham sekular yang mendorong manusia untuk membuang agama dari pikiran dan dari kehidupannya. 
Mengadopsi teori evolusi Darwin tentang asal-usul manusia sebenarnya sangat menghina manusia Indonesia. Karena nenek moyang kita adalah  Nabi, yakni manusia yang paham untuk apa hidup di dunia; yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT (QS 51:56); bukan hanya untuk cari makan, sebagaimana monyet. Biarlah Darwin dan para pengikutnya saja yang nenek moyangnya adalah monyet, yang hidupnya hanya untuk cari makan dan memuaskan syahwat. Sangat tidak beradab memaksakan teori seperti ini kepada umat beragama di sekolah-sekolah. 
Selain kedua buku tersebut, masih ada beberapa contoh buku ajar yang lain yang mengandung muatan-muatan sekularisme, yang sepatutnya tidak dipaksakan kepada murid-murid muslim. Buku-buku ajar semacam ini sangat bertentangan dengan tujuan Pendidikan Nasional untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa. Semoga pejabat yang berwenang  di Indonesia mau menyadarinya. Terlebih khusus lagi, semoga lembaga pendidikan Islam memahami dampak buruk dari buku ajar bermuatan paham ateis dan sekuler. Wallahu a’lam bish-shawab. (Depok, 6 Juni 2014).