Senin, 28 Juli 2014

Sudah Biasa Tapi Aneh

Sebuah Teka-Teki dari Enigma "Aku"


Seorang sahabat pernah memberi saran, "dalam hidup ini janganlah tuntut orang lain memahami kita, tetapi tuntutlah diri kita untuk memahami orang lain."....saran ini begitu tampak menarik,.seolah sederhana dan begitu apik menyembunyikan kompleksitasnya..dan aku tipe orang yang suka "merenungi" segala hal yang membuat aku mencoba "menalar" dan "merenungi" berbagai eksplorasi yang mungkin dari banyak kebenaran yang seolah tampak gamblang bagi orang lain sehingga dianggap tidak layak dipikirkan. Lebih-lebih jika ada suatu kejadian yang membuatku banyak berpikir tentang  kaitan hal-hal yang tidak jelas agar menjadi jelas, kenikmatan yang luarbiasa secara intelektual di dunia ini adalah jika kita mampu memahami sesuatu yang tampak kacau dan saling tidak berhubungan,...arena dan topik menarik yang selalu kupikirkan adalah alam ini, aspek metafisika alam dan nilai religius dan dimensi kesucian dari alam,...dan terakhir renungan faporitku adalah manusia,...yah, apalagi selain manusia yang lebih menarik di alam raya ini,..Pertanyaan fundamental yang hendak ku gagas malam ini adalah apakah manusia pada hakekatnya bisa difahami?apakah manusia itu suatu wujud yang terdefinisikan dengan jelas satu sama lainnya sehingga kita bisa merasa yakin, oh itu si A dengan sifat begini begitu, aku fahami dia dalam situasi ini bakal begini begitu, oh itu si B dengan sifat begini begitu,..

,...
,..
Terkadang dalam hidup ini, kita lebih banyak menyembunyikan pertanyaan-pertanyaan penting semacam ini. Pertanyaan seperti ini dengan segera kita lenyapkan akibat kita nilai tidak penting untuk memikirkannya, apalagi merenunginya secara mendalam. Celakanya kebanyakan yang dinilai orang tidak penting dan tidak layak direnungkan itu adalah soalan sangat mendasar namun begitu mengganggu untuk dipikirkan karena akan menimbulkan kesan bahwa dunia ini sulit difahami, dunia ini tampak sebagai sebuah enigma, teka-teki tidak berkesudahan, sehingga manusia lebih nyaman untuk bercokol di benteng psikologis yang menipu, bahwa banyak hal tidak usah direnungkan karena memang tidak penting,..jadi tidak penting itu lebih sering adalah pertanyaan fundamental yang amat sulit dijawab secara meyakinkan tanpa menimbulkan pertanyaan baru yang lebih membuat kewalahan. Terkadang akibat kebiasaan ini kita sukar sekali menarik benang merah dan pelajaran dari berbagai hal yang terjadi yang sebenarnya jika direnungi sedikit lebih mendalam ada polanya sehingga kita tidak perlu bersusah payah untuk menyikapinya dengan berbagai antisifasi yang mungkin.

Dan merenungi manusia adalah persoalan yang sangat sulit, tidak ada definisi yang jelas selain interaksi kita dengan manusia lain cenderung begitu "serba neka" namun terjadi dalam durasi yang singkat, insting dan antisifasi dalam interaksi yang terjadi sering timbul dari reaksi yang tanpa dipikir karena memang tidak cukup waktu untuk itu. Interaksi dari manusia melibatkan emosi, dan emosi paling sulit dirinci dan di analisa karena ia adalah pengalaman holistik, seperti kehidupan itu sendiri yang tidak bisa direduksi oleh penjelasan-penjelasan sederhana tanpa terjebak dalam reduksi atau analisis yang sering kali menghilangkan hal paling esensial yang bersifat holistik (Lain waktu penulis Blog akan bicara tentang Psikologi modern yang melihat manusia dari kaca mata reduksionis dan analitik). Karena emosi adalah kesadaran, dan kesadaran itu lebih mirip gumpalan awan yang berubah dalam pola-pola yang sangat sulit dipredikisi dan dirumuskan. Begitu juga interaksi antara berbagai kesadaran.

Ungkapan "fahamilah orang lain" ini sebenarnya menyimpan kategori-kategori reduksionis juga dan mengandung "jebakan konseptual". Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam ulasan Psikologis, atau terjebak dalam uraian serba subyektif,  atau menjadikannya sebagai sebuah persoalan etika, aku ingin tunjukkan bahwa manusia pada dasarnya "tidak bisa difahami" dalam kategori-kategori reduksionis dan analitik sebagaimana bisa dijebak oleh ungkapan di atas. Dan ini bukan sebuah ulasan pilosofis belaka, namun berasal dari pengalaman nyata. Okelah andaikan ini adalah sebuah ulasan psikologis, kupilih saja ini ulasan psikologis pilosofis ala Wiliam James yang bersifat praktis dan pemaparan apa adanya sehingga problema pilosofis itu "terasa mudah dikunyah-kunyah" karena begitu kongkrit.

Langkah pertama adalah mempelajari orang-orang yang ada di sekelilingku sendiri. Sebutlah dua tokoh A dan B, yang terjadi akibat "jebakan takdir" membuatku harus berhubungan dengan dua individu aneh ini yang dalam kondisi normal pasti sudah "kujauhi sejauh-jauhnya" namun karena "jebakan takdir" aku harus selalu berinteraksi dengan mereka. Kenapa kusebut aneh, karena bertahun-tahun aku mencoba "memahami" mereka namun hingga hari ini kutidakbisa menemukan pola apa sebenarnya yang mereka berdua itu.  Terkadang aku berusaha mendekati mereka, berusaha menyenangkan hati mereka, namun usaha ku selama bertahun-tahun tidak pernah menunjukkan hasil yang jelas. si A dan Si B ini selalu memandangku penuh kecurigaan. Belum pernah rasanya mereka menunjukkan kestabilan sikap dalam pola yang permanen.

Amatanku lebih lanjut adalah satu sisi menarik tentang tiadanya pola reduksionis ini. Terkadang ada harinya mereka tampak begitu baik dan stabil, lalu sekonyong-konyong berubah, padahal hatiku telah "luluh" dan telah merasa aman untuk memberikan "sisi terbaik" dari diriku berupa keramahan, kepercayaan dan rasa menghargai,...dan seperti biasa tiba-tiba mereka berubah sekonyong-konyong tanpa ada sebab yang jelas. Demi Allah ,..kalau bukan "jebakan takdir" ku benar-benar menjauhi mereka sejauh-jauhnya sejauh bumi timur dan bumi barat. Namun well, bukan itu yang hendak ku sorot. Yang ku sorot adalah mengapa manusia tidak memiliki sifat yang benar-benar jelas, misalkan sifat yang dapat diramalkan dari benada-benda fisikal.


 Akhirnya kuinsyafi bahwa kata "aneh"yang kulabelkan pada orang-orang ini lebih kepada ketidak tahuanku soal manusia, atau barangkali soal diriku sendiri atau barangkali memang pertanyaan nya menuntut solusi yang jauh lebih dalam. Pertanyaan selanjutnya mengerucut pada definisi "aku" itu sendiri, suatu sense keberbedaan dan keterceraian dari entitas lain, dari dunia yang jamak ini. Apa yang mendefinisikan "aku", kenapa kita bisa mengenali seseorang sebagai si "A" dan memahaminya sebagai suatu individualitas dengan beragam karakter dan sifat? lalu dalam kaitan sifat dan sikap itu timbul idea bahwa si A menyenangkan, si B menyebalkan, si C enak dan ramah, si D sombong, si E angkuh dan sok pintar?.

Adakah pengenalan kita karena pola-pola fisika mereka, gesture, mimik mereka, atau rangkaian pola-pola karakter dan sikap mental? kalau pola wajah atau fisik, kita mengetahui dari sains bahwa manusia ini terus berubah secara fisik, manusia akan menua, dan dalam situasi tertentu akhirnya menjadi sama sekali berubah, ...kalau karakter juga bisa berubah, tergantung situasi dan kondisi yang mereka hadapi,..

Amatan lain, adalah individu C, dan individu C ini sosok menarik yang hendak kupelajari dan kufahami juga karena cukup "unik". Beliau sosok pemarah yang emosinya sering meledak-ledak. Jika ada sesuatu yang kurang berkenan ia akan langsung bereaksi spontan baik dengan kata-kata yang menandakan agresi dengan nada keras dan pedas yang memberi isyarat ancaman agar menghentikan semua hal yang ia kurang berkenan. Moodnya sering bertukar rupa.  Terkadang ia tampak berwajah cerah dan di lain waktu muram dan matanya mendelik menakutkan. Di suatu waktu ia membuat pengakuan mengejutkan padaku, "aku menginsyafi bahwa aku ini pemarah, aku orangnya spontan, aku akan serta merta bereaksi jika ada orang yang mengusikku, khususnya jika itu mengganggu harga diriku, aku tidak tahu apakah itu sebuah kekurangan atau bagaimana,..",...pengakuan individu C ini menunjukkan sebuah "aku" yang bimbang, di saat yang sama ungkapannya ini menunjukkan ada proses autopersefsi di mana "aku"nya yang murni mencoba memahami akunya yang kompleks,..yaitu ia sering mencoba memahami yaitu kenapa ia pemarah. Terkadang ia menyesali kata-kata kasar yang ia lemparkan pada orang lain dengan spontan dan tanpa dipikir itu,  di saat yang tenang, dia melihat itu tidak sepatutnya. Kesadaran yang cukup aneh adalah ia mengaku bahwa ia tidak dapat mengendalikan semua itu. Isyarat ini terlihat dari pengakuannya yang menandakan kebingungannya sendiri akan sifat dari dirnya,sehingga pengakuan itu merupakan sebuah katarsis akan komplex batin yang ia derita. Jadi Emosi manusia itu bukanlah sesuatu yang tetap, namun berubah-rubah terus menerus, namun ada suatu bagian dari diri terdalam seorang manusia melihat bahwa itu harus dikendalikan, namun ia tetap tidak berdaya bahwa kekuatan-kekuatan tersebut terus menempel tidak dapat dikendalikan dengan sempurna.


MMMM,...ada Satu saran dari diriku menyangkut ini memberi arahan bahwa sepertinya aku teralu "intelektual" untuk orang-orang ini,..aku terlalu "intelektual" untuk problematika seperti ini yang bagi orang telah jelas dengan sendirinya secara serta merta,..aku terlalu banyak berpikir dan menganalisa serta terlalu yakin mereka adalah seorang "individu" yang dapat didefinisikan dengan jelas sehingga setiap sikap dan karakter yang muncul benar-benar berasal dari suatu esensi dalam diri mereka secara individu, sehingga aku berhak tersinggung dan marah jika sikap dan tingkah laku tersebut tidak berkenan dihatiku.

Tadi akhirnya timbul keinsyafan dalam diriku, kita manusia ini dominannya sebenarnya lebih merupakan sebuah dunia, yaitu dunia pikiran dengan berbagai interaksi batin maupun jasadi yang melingkupinya namun dalam bentuk fuzzy yang kabur. Kita bukan individu yang terdefinisikan dengan jelas, lebih2 jika kita hidup dengan insting belaka, atau dalam situasi sangat menekan di mana kekuatan "limbik" berupa agresi, amarah dan "amuk" muncul sebagai sebuah modus tingkah laku. Yang kusebut insting itu dalam bahasa agama adalah adanya hawa nafsu, atau bahkan barangkali bisikan syaithani atau malakuti. Hawa nafsu selanjutnya berinteraksi dengan akal pikiran, serta berbagai elemen ini dalam jawabannya terhadap tantangan "non aku" nya dan semua itu membentuk faset-faset kesadaran sebuah "aku".

 Jadi "seseorang" hari ini tidak sama sama dengan seseorang esok, "ia" bukan orang yang sama. Kemaren ia hidup dalam insting "alpha",.."oh aku harus berbaik-baik dengan orang ini, soalnya aku lagi butuh ini butuh itu sama dia",..esoknya orang yang sama telah berubah pula dalam modus "beta",..misalkan berhubung lagi banyak persoalan ekonomi menggelayuti pikiran orang-orang seperti ini maka dia mengambil sikap "menyebalkan gamma" misalkan, maka mereka sebenarnya (atau manusia secara umum barangkali) tidak memiliki individualitas apapun selalun bagai awan ditiup angin yang selalu berubah bentuk dan pola tergantung insting-insting apa yang tengah menggelayuti dirinya, apakah dorongan harga diri, ego, sex, wibawa, ekonomi, kepentingan hedonisme, atau "sifat ketuhanan" seperti rasa ingin satu-satunya, semua itu tidak berpola yang stabil dan permanen,..jadi satu-satunya pola mereka (kebanyakan manusia) adalah tiadanya pola,..aku saja terlalu berusaha melihat pola dari awan yang mudah berubah ini akibat kebiasaan ku merunut segala ide dan pengalaman menjadi sesuatu yang koheren,..padahal hidup ini sangat tidak koheren, dan manusia makhluk yang bukan hasil dari kesadaran yang koheren dan tidak berpola yang jelas.

Di sinilah sumber sakit hatikuselama ini dalam berinteraksi dengan manusia lain, dan kabar gembiranya mengapa aku sakit hati,..(aku senang sakit hati karena dalam satu atau lain hal dalam kaitan dengan enigma ini  "sakit hati" menjelaskan pada diriku bahwa "aku"  dengan segala individualitasnya itu memang ada, jauh di dalam pertarungan berbagai elemen ini ada "aku" tempat kumerasakan individualitasku sendiri, tempat merasa sedih, gembira, marah dan "sakit hati"),..yaitu kuanggap mereka itu "individu yang utuh" padahal mereka khususnya si A dan si B hanyalah kumpulan insting-insting yang saling bertarung, sehingga kita tidak pasti wajah apa sebenarnya yang akan mereka tampilkan tiba-tiba ketika kita berinteraksi dengan mereka....jadi tidak usah dipusingkan lagi...alhasil saran "cobalah fahami orang lain" itu mengandung jebakan, kita tidak akan pernah bisa secara utuh memamahami seorang manusia, kefahaman maksimal yang bisa kita raih bahwa manusia itu wujud yang tercipta dalam keadaan banyak elemen saling bertarung dalam dirinya, sehingga sifat yang jelas nyaris sulit dirumuskan,..kita harus hati-hati menyimpulkan bahwa seseorang memiliki warna "A" misalkan padahal "A" itu sendiri hanyalah salah satu loncatan keadaan dari berbagai keadaan yang mungkin yang bisa mereka pilih,..

Namun sebuah jebakan konseptual muncul kembali di sini,..akupun seorang manusia dan punya problema yang sama. Aku juga tidak bisa memastikan bahwa "persefsi" ku saat ini, tentang diriku sendiri bukanlah imaji-imaji mental yang menipu, atau tidak dapat kupastikan hanyalah permainan-permainan insting belaka. Begitu juga tentunya lebih tidak dapat dijamin persefsiku soal dunia luar, yaitu "aku" yang lain,..khususnya individu "A" dan "B".

Benang merah di sini adalah, bahwa manusia pada setiap individunya dibangun oleh berbagai warna atau kekuatan yang saling berinteraksi. Terkadang ketika ingin memahami seseorang, kita seolah "mempostulatkan" taken for granted, bahwa seseorang itu adalah sebagaimana "yang kita pikirkan" dalam sebuah gambaran permanen yang jelas, lalu dalam situasi tertentu kita mempunyai ekspektasi terhadap mereka. Padahal seorang manusia yang hidup itu sendiri adalah sebuah kekuatan atau jiwa yang hidup di mana berbagai kekuatan yang terkadang saling berlawanan dan ketika berbagai kekuatan itu berhimpun, terkadang saling bekerja sama terkadang saling menghancurkan, dari puncak pertarungan "semesta keakuan pada diri seseorang" ini muncullah apa yang selanjutnya kita proyeksikan dalam kesadaran keakuan kita, selanjutnya kitapun meloncat pada bentuk cermin keakuan yang lain yang akan membuat kita mengambil kesimpulan atas berbagai kekacauan faset kesadaran ini.

Lalu apakah kesimpulanku ini menegasikan kata atau ide adanya "aku" yang murni dan sejati? ...
Renunganku sejenak menunjukkan bahwa  pada setiap orang pasti mempunyai "aku", namun dengan berlalunya waktu, banyak situasi-situasi tertentu yang meresonansi berbagai elemen pembentuk individualitas seseorang untuk mengabaikan "aku" yang asli. Dalam terminologi agama, seseorang lebih mendengarkan dorongan-dorongan lain di luar "aku"nya yang murni. Aku yang murni dalam pemahamanku ini bukanlah "ego" belaka, ego adalah perkawinan aku dan berbagai elemen asing yang mewarnai aku yang murni. Jadi aku yang murni itu adalah sesuatu yang diterminologikan sebagai "ruh" atau "jiwa" kita yang paling asli dan sejati, tempat bermainnya apa yang disebut sebagai "nurani" atau "hati kecil". Semakin seseorang mengabaikan "suara-suara akunya" yang murni ini, maka pada akhirnya "aku " yang murni tersebut akan "mati", misalkan terus menerus melakukan hal-hal berupa keburukan dan kejahatan, serta berbagai dosa yang menimbulkan konflik terus menerus dengan suara nurani,suara aku yang murni.

Di sinilah perenunganku mencapai inti sarinya. Dalam proses "memahami" orang lain, kita juga harus mengingat bahwa dalam saat yang sama tidak terhindarkan tuntutan untuk memahami diri kita juga di saat yang sama.Di sinilah juga bisa terlihat, seseorang tidak akan mampu memahami manusia lain sebelum ia kenal dengan dirinya sendiri, kenal dengan berbagai elemen-elemen dan kekuatan yang membentuk dirinya dan bagaimana cara mensikapi berbagai kekuatan tersebut. Ketika seseorang tidak bisa memilah-milah dan mengelola berbagai kekuatan ini, dan memastikan ia berada dalam "akunya yang murni", fitrah kedirian sebagai sibghah celupan ciptaan Allah, maka ia tidak akan bisa arif dan memaknai semesta ciptaan lainnya. Untuk mencapai kesadaran fitrah yang murni inilah peran dari agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar