Kamis, 31 Juli 2014

Memuji Rasulullah SAW

Batasan Memuji Nabi SAW Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah

Share Button
Sebagian kaum wahabi-salafi sering melontarkan tuduhan berlebihan kepada mayoritas umat Muslim yang memuji-muji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di majlis-majlis maulid atau majlis lainnya. Entah kenapa mereka begitu alergi jika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dipuji-puji, seolah telinga-telinga mereka merasakan kepanasan yang luar biasa saat mendengar pujian yang indah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tak peduli lagi menuduh kaum muslimin telah melakukan ghuluw atau berlebihan (kultus) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tak mampu membezakan mana ghuluw dan mana pujian yang memang patut dipuji untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’alaa sendiri telah memuji Nabi-Nya itu dengan pujian-pujian agung.
1476762_10201216862329647_2027166840_n
Lalu apa dan bagaimana batas pujian yang berlebihan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjawabnya dan memberikan penjelasan tentang batasan pujian yang berlebihan, beliau bersabda :

لا تطروني كما اطرت النصارىابن مريم فانما انا عبده فقولوا عبد الله ورسوله
Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku seperti kaum Nashrani yang berlebihan dalam memuji putra Maryam. Aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah (mengenaiku) “ Hamba Allah dan Rasul-Nya “ (HR. Bukhari)

Nabi tidak menggunakan lafaz “ Laa tamdahuuni “ atau “ Laa tahmaduuni “ yang artinya “ janganlah kalian memujiku “. Akan tetapi Nabi menggunakan kalimat “ Laa tathruuni “ dengan kata ihtraa yang bermakna al-mubalagah fil madhi[1] yakni berlebihan di dalam pujian, artinya Nabi mengatakan, “ Janganlah kalian berlebihan di dalam memujiku “. Lalu apa dan bagaimana batasan pujian yang berlebihan ? Nabi sudah memberikan batasan yang jelas mengenai pujian yang berlebihan kepada beliau, kita perhatikan lanjutan haditsnya :

كما اطرت النصارىابن مريم فانما انا عبده فقولوا عبد الله ورسوله
“…seperti kaum Nashrani yang berlebihan dalam memuji putra Maryam. Aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah (mengenaiku) “ Hamba Allah dan Rasul-Nya “

Artinya kita dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau dengan pujian seperti pujian kaum Nashrani kepada Nabi Isa yaitu menganggap anak Tuhan atau Tuhan, akan tetapi pujilah Nabi Saw dengan pujian yang tidak sampai mencerabut (memutuskan) beliau shallallahu ‘alahi wa sallam dari hamba Allah (kemanusiawiannya) dan kerasulannya, oleh karenanya beliau setelah itu bersabda “Aku hanyalah hamba Allah, maka katakanlah (mengenaiku) “ Hamba Allah dan Rasul-Nya “.

Artinya kita diperbolehkan memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian-pujian indah yang tidak sampai mengganggap beliau sebagai tuhan atau anak tuhan sebagaimana pujian berlebihan kaum Nashara kepada nabi Isa bin Maryam alaihimas salam. Apalagi jika pujian-pujian yang dilantunkan kaum muslimin dalam majlis-majlis maulidnya atau lainnya itu sudah sesuai dengan kelayakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bagaimana bisa dituduh telah berlebihan di dalam memuji beliau ??

Tidakkah mereka tahu dan merenungkan bahwa Allah Ta’ala sang pencipta seluruh makhluk telah memuji beliau dengan kata-kata yang indah dalam al-Quran ??

Perhatikan, Allah Ta’ala berfirman :

وما ارسلناك الا رحمة للعالمين

“ Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam “ ( QS. Al-Qalam : 4)
Dan juga Allah berfirman  :

وانك لعلى خلق عظيم
“ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung “

Dan ayat :

وانك لتهدي الى صراط مستقيم

“ Dan sesungguhnya kamu benar-benar menunjukkan pada jalan yang lurus “ (QS. Al-Ahzab : 52)

Kata-kata “agung” dari Allah yang Maha Agung, memiliki makna yang besar dan tak bisa dijangkau batasnya dengan pikiran kita. Artinya kita bebas untuk menisbatkan sifat-sifat kesempurnaan makhluk bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batas (kecuali menjadikan beliau sebagai tuhan) karena setinggi apapun pujian kita, tak akan mampu menandingi pujian Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.

Bahkan Allah Ta’ala sendiri melabelkan beberapa sifat-Nya kepada Nabi Saw. Dalam al-Quran Allah Swt berfirman :

لقد جاءكم رسول من انفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم

“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari golongan kalian sendiri, terasa berat baginya penderitaan kalian, ia sangat mengharapkan kebaikan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang bagi umat mukmin (QS at-taubah 128).

Lihat bagaimana Allah Ta’alaa menyematkan dua asma-Nya untuk Rasulullah Saw yaitu Rauuf dan Rahiim (pengasih dan penyayang). Bukan berarti sifat kasih dan sayang Nabi itu sama dengan sifat kasih dan sayang Allah Ta’alaa. Namun sifat kasih dan sayang dalam batas kemanusiawiaan tidak sampai batas ketuhanan.

Para sahabat dan ulama salaf, memahami hal ini dengan baik sehingga tidak sedikit para sahabat yang memuji-muji Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian indah dan tinggi. Di antaranya adalah pujian yang disampaikan sahabat Hassan bin Tsabit :

واحسن منك لم تر قط عيني   #  واجمل منك لم تلد النساء
خلقت مبرأ من كل عيب    #   كأنك قد خلقت كما تشاء

Yang lebih baik darimu, belum pernah mataku memandangnya
Yang lebih indah darimu, belum pernah pernah dilahirkan oleh para wanita
Engkau diciptakan terbebas dari segala kekurangan
Seolah engkau tercipta dengan sekehendakmu sendiri[2]

Sahabat Sariyah pun pernah memuji Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فما حملت من ناقة فوق ظهرها … أبر وأوفى ذمة من محمد

“ Tidak ada seeokor unta pun yang membawa seseorang di atas punggungnya, yang lebih baik dan menepati janjinya daripada Muhammad “[3]

Dan masih banyak lagi pujian para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga membuat Nabi senang dan terkadang Nabi pun memberikan hadiah pada yang memujinya. Ini semua membuktikan mengenai bolehnya memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian setinggi-tingginya.

Nama beliau sendiri yaitu Muhammad, merupakan bentuk isim maf’ul dari kata HammadaYuhammidu Tahmiidan, yang secara bahasa artinya adalah yang banyak dipuji. Ini merupakan isyarat bahwa memang beliau pantas untuk selalu dipuji.

Fakta yang terjadi di kalangan wahabi-salafi, justru mereka kenyataannya ghuluw (berlebihan) di dalam memuji syaikh mereka sendiri dan seolah biasa-biasa saja ketika menyebut nama mulia Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, berikut buktinya :

Di dalam muqaddimah kitab at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahhab[4], oleh Shaleh bin Abdul Aziz Aalu Syaikh mengatakan :

فهذا الكتاب – كتاب التوحيد – من مؤلفات الإمام المصلح المجدد شيخ الإسلام والمسلمين، محمد بن عبد الوهاب، وهو- رحمه الله- غني عن التعريف؛ لما جعل الله – جل وعلا – لدعوته من أثر ظاهر النفع في جميع أنحاء الأرض: شرقا وغربا، جنوبا وشمالا، ولا غرو في ذلك فإن دعوته -رحمه الله- إحياء لدعوة محمد بن عبد الله، عليه أفضل الصلاة والسلام.

“ Kitab ini –kitab Tauhid- di Antara karya seorang imam, yang memperbaiki, sang pembaharu, guru Islam dan kaum muslimin, Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah merahmatinya- cukup dari pengenalan, dikeranakan Allah Ta’ala telah menjadikan dakwahnya pengaruh manfaat bagi seluruh pelosok di muka bumi ini, sama ada di Timur, Barat, Utara ataupun Selata. Hal ini tidak diragukan lagi, karena dakwah beliau –semoga Allah merahmatinya adalah untuk menghidupkan dakwah Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[5]

Coba anda perhatikan perilaku wahabi ini, menyebutkan nama Muhammad bin Abdul Wahhab dengan sebutan pangkat yang begitu hebat dan tinggi, dan juga menyebutkan –Rahimahullah- berulang-ulang tiap kali namanya disebut. Akan tetapi coba anda perhatikan, ketika wahabi ini menyebut Nama makhluk Allah yang paling mulia ini, mereka tidak menyebutnya sebelumnya dengan sebutan pangkat-pangkat Nabi yang tinggi dan mulia bahkan lebih tinggi dan mulia dari pangkat Muhammad bin Abdil Wahhab. Padahal Allah sendiri telah memerintahkan kita agar tidak menyebut Nama Nabi Muhammad seperti sebutan atau panggilan kita dengan sesama kita yang lainnya. Naudzu billahi min dzaalika…


Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 1-04-2014



[1] Kamus al-Ma’ani bab ithra’.
[2] Diwan Hassan bin Tsabit :1/2
[3] Bahjah al-Majalis wa Unsu al-Majalis, Ibnu Abdil Barr : 1/129. Ada yang mengatakan pujian itu berasal dari Umru al-Qais.
[5] At-Tamhid li Syarh kitab at-Tauhid : 3
Share Button

Tidak ada komentar:

Posting Komentar