(Hasil riset dari Azyumardi Azra menunjukkan bahwa para ulama nusantara ini bukanlah sembarangan ulama, ilmu mereka bersanad kokoh. Namun apakah para ulama tersebut orang yang jumud dan anti pembaharuan? tentu tidak, mereka orang yang arif dan bijak, yang menjadi masalah kemudian hari adalah munculnya gerakan pembaharuan dari orang yang tidak jelas asal usul nya dan tiba-tiba menyerukan ekstrimisme dan radikalisme yang hingga hari ini kita lihat sepak terjang mereka hanyalah perpecahan dan kekacauan serta brutalisme yang lahir dari mental Barbar.
Harap dicatat juga, dalam masa dahulu betapa jaringan ulama nusantara ini berafiliasi kepusat-pusat Islam, sedangkan pusat-pusat Islam dalam kondisi "keemasan ilmu" dan "sangat sehat", belakangan ideologi puritan keras dan ekstrim melanda seluruh pusat Islam sehingga ibarat "kanker" gejala penyakit tersebut terus merusak ke seluruh cabang dari pohon besar umat. Sehingga suasana brutalistas dan kekerasan, serta ulama-ulama su' dengan mudah kita temukan di zaman kontemporer ini.
Review berikut merupakan sebuah usaha dari seorang Bloger untuk mengulas kesimpulan-kesimpulan atau bahkan kritik terhadap kajian Prof. Azyumardi Azra yang telah berbuah menjadi sebuah buku yang sebelumnya merupakan Disertasi Doktoral)
Harap dicatat juga, dalam masa dahulu betapa jaringan ulama nusantara ini berafiliasi kepusat-pusat Islam, sedangkan pusat-pusat Islam dalam kondisi "keemasan ilmu" dan "sangat sehat", belakangan ideologi puritan keras dan ekstrim melanda seluruh pusat Islam sehingga ibarat "kanker" gejala penyakit tersebut terus merusak ke seluruh cabang dari pohon besar umat. Sehingga suasana brutalistas dan kekerasan, serta ulama-ulama su' dengan mudah kita temukan di zaman kontemporer ini.
Review berikut merupakan sebuah usaha dari seorang Bloger untuk mengulas kesimpulan-kesimpulan atau bahkan kritik terhadap kajian Prof. Azyumardi Azra yang telah berbuah menjadi sebuah buku yang sebelumnya merupakan Disertasi Doktoral)
Review Buku Jaringan Ulama' Timur Tengah
Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia), (Mizan
Jakarta 1998),
Bibliography and Index. Pp. 339, harga: Rp 15.000,-
Sejauh
ini, tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulang Timur Tengah dan
Nusantara. Meski terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama
Melayu-Indonesia pada abad ke-17 dan ke-18, tetapi tak banyak upaya dilakukan
untuk mengkaji secara kritis sumber-sumber pemikiran mereka, dan khususnya
tentang bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan
ulama yang ada dan bagaimana gagasan yang mereka transmisikan itu mempengaruhi
perjalanan historis Islam di Nusantara. lebih jauh, ketika jaringan keilmuan
itu sedikit disinggung, kajian-kajian yang ada lebih berpusat pada aspek "
organisasional" jaringan ulama di Timur Tengah dengan mereka yang datang
dari bagian-bagian lain Dunia Muslim.
Tidak
ada kajian yang membahas " kandungan intelektual" yang terdapat dalam
jaringan ulama tersebut. Padahal, kajian tentang aspek intelektual ini sangat
penting untuk mengenahui bentuk gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui
jaringan ulama.
Tampaknya
inilah buku pertama yang menggunakan sumber-sumber Arab secara ekstensif dalam
pengkajian yang berkenaan dengan sejarah pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia. Buku ini adalah edisi revisi yang lebih singkat dari disertasi Ph.D
yang diajukan ke Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir
1992. Karena itu, pembaca yang ingin memanfaatkan edisi lengkap karya ini,
dipersilahkan melihat disertasi aslinya. Disertasi ini sendiri merupakan hasil
penelitian selama lebih dari dua tahun di berbagai tempat dan perpustakaan,
sejak dari Banda Aceh, jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo, Makkah,
Madinah, Leiden, New York City sampai ke Ithaca ( New York State ).
Karya
ini merupakan langkah awal dalam upaya menyelidiki sejarah sosial dan
intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya
dengan perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur
Tengah.
Dalam pendahuluan pembaca disuguhi gambaran-gambaran
tentang keberadaan Islam, model Islam sampai kepada ajaran-ajaran Islam yang
paling nyata berkembang di Indonesia. Khususnya pada abad 17 dan 18 M. disampaikan pula kesan
mengkritisi tinjauan atau kajian Islam di Indonesia dan Timur Tengah.
Dijelaskan bahwa hubungan Timur Tengah – Nusantara tidak seperti yang
dituduhkan sebagian peneliti yaitu:
- Melihat Islam Indonesia sebagai yang tidak orisinil, terlalu banyak faktor lokal yang masuk kedalam Islam
- Islam Indonesia itu terlalu bersifat politis ketimbang keagamaan
Justru kalau secara jujur mau mengakui, bahwa telah terjadi
transmisi Islam yang luar biasa dan sangat berpengaruh terhadap perkembanagn
Islam selanjutnya. Dan pengaruhnya terhadap dunia Islam secara keseluruhan
khususnya setelah dibukanya secara lebar jalur haji dan terjadinya hiruk-pikuk
transmisi Islam Timur Tengah-Nusantara dan dengan ini dikenalah istilah
al-ashab al-jawiyah (saudara dari jawa-nusantara).
Harus diakui memang perkembangan Islam di Indonesia itu
terjadi dijaman dunia Islam mengalami kemunduran secara politis bahkan
kehilangan semangat intelektual dan secara garis besar perkembangan Islam ke nusantara
lebih banyak dibawa oleh para sufi yang memang suka bepergian. Selain para
sufi ini tentu para pedagangpun turut andil dalam penyebaran
Islam ke Indonesia. (Komentar Bloger: Bloger kurang setuju jika masa tersebut dianggap sebagai sebuah masa kemunduran serta bloger lebih tidak setuju lagi jika indikasi kemunduran tersebut disematkan kepada kaum sufi, apalagi jika parameter yang dijadikan indikator maju atau mundurnya adalah indikator politik)
Buktinya Islam yang berkembang di Indonesia lebih
menggambarkan kesufian tersebut ditambah dengan kondisi lokal Indonesia yang
berbasis hindu, Animisme dan dinamisme. Karena faktor lokal seperti ini maka
para pendahulu Islam Nusantara menemukan momentumnya dalam menggunakan metode
penyebaran Islam di Nusantara ini.
Terlepas dari bagaimana dan kelompok mana Islam berkembang
di Nusantara, menurut Azra; proses transmisi Islam Timur Tengah - Nusantara,
kurang mendapat perhatian. Azra menyebutnya cukup ditelantarkan. Buku ini (Jaringan
Ulama-red) adalah suatu solusi kajian Islam dalam sudut yang sangat ada keterkaitannya
dengan ketelantaran tersebut.
Untuk memberikan sedikit gambaran atas bab-bab yang dibahas
dalam buku ini, berikut ini akan kami sampaikan
pembahasan serta penulisan bab demi bab yang ada dalam buku ini.
Pada bab pertama (Kedatangan Islam dan Hubungan Nusantara Timur Tengah) ini azra menjelaskan tentang teori-teori yang berkembang di antara para ahli sejarah, tentang seputar kedatangan Islam
ke Nusantara. Sebagian mengatakan dari
India, sebagian lain dari China
dan lain sebagainya. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenahi hubungan antara Haramayn
dengan Nusantara.
Ada
dua hal yang pokok dalam bab ini yaitu :
1.
Teori
kedatangan Islam ke Indonesia
Dalam persoalan
ini Azra tidak begitu baru menjelaskan teori kedatangan Islam ke Indonesia,
yang dikemukakan cenderung merupakan pengulangan teori yang ada yaitu; teori
Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Selain teori ini Azra mengajukan teori lain yaitu; teori
Bengal dan Arabia. Dua
teori Azra tersebut pada prinsipnya mengambil pijakan dari fakta-fakta yang ada
di daerah-daerah yang ditemuai. Yang menjelaskan ciri-ciri Islam melalui
nama-nama batu nisan sampai kepada madzhab yang berkembang pada daerah
tersebut.
Teori lainnya adalah teori sufi.
Yaitu yang paling banyak perannya dalam penyebaran Islam Indonesia adalah para
sufi hal ini diperkuat dengan budaya nusantara yang kebetulan hinduistis dan
semacamnya.
2.
Hubungan Awal Nusantara dan Timur Tengah
Sedikitya disebutkan tahapan-tahapan
sebagai berikut: Abad 8-12 hubungan berbentuk perdagangan, Abad 15 hubungan
berbentuk keagamaan dan cultural, Abad 16 hubungan lebih bersifat politis
Bagian dua “Jaringan ulama di Haramayn abad
17” Azra mengungkapkan tentang
kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama internasional pada abad ke-17,yang
berpusat di Haramayn.
Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian
memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi
keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan
ulama ke daerah lain.
Pada bab ini, Azra mengetengahkan beberapa hal yaitu :
1. Latar historis jaringan ulama
internasional
Makkah dan Madinah (Haramyn) dalah cikal bakal hubungan
islam di dunia terutama disaat musim haji berlangsung. Hal ini berdampak besar
terhadap kaum muslimin sepulangnya mereka dari makkah kembali ke kampung
halaman. Haramyn tepatnya telah menjadi pusat intelektual muslim di dunia,
ulama, filosof, penyair, pengusaha dan sejarawan ada di sini.
Dalam perkembangannya di Haramyn ini terdapat: sekolah-sekolah,
dukungan dari penguasa,terciptanya perdagangan yang meluas dan terciptanya
imigrasi besar-besaran dari dan ke Timur-Tengah
2. Diskursus keilmuan Haramayn
Terdapat para ulama yang melimpah di Haramayn, para pembaca
qur’an, dan penyalin kitab-kitab keagamaan. Berdasarkan penelitian seperti
ditemukan dalam pengembara ibnu Batuthah sedikitnya terdapat 35 ulama di Makkah ini tentu saja tidak
mencantumkan semuanya kendatipun demikian hal ini menyebutkan dari berbagai
wilayah. Al-Fasi mencatat sekitar 3.548 ulama terkemuka. Semakain banyak ulama
yang berkunjung maka akan semakin banyak dan menyebar pula ulama di Haramyn
ini. Sejak abad 17 negeri asal ulama ini berkumpul ulama dan murid tidak
terkecuali wilayah peri-peri seperti nusantara, Afrika Asia Cina membentuk
diskursus jaringan ulama.
3. Inti jaringan ulama abad 17
Ada dua ulama inti yang berperan dalam membentuk jaringan
ulama yang digambarkan seperti ketersambungan sanad hadits.
a.
Al-Fasi
dan dengan muridnya dan juga teman baiknya yaitu ibnu hajm seorang muhaddis
yang hidup di Mesir;
b.
An-Nahrawali
terkemuka di Haramayn beliau mempunyai peran besar (ektensif) tidak saja dengan
ulama abad 17 tetapi juga deangn ulama abad 18
Kedua
tokoh ini menghasilkan pertukaran pengetahuan transmisi tradisi-tradisi kecil
dari India dan Mesir ke Hejaz.
4. Ulama pada pergantian abad
Wafatnya
satu ulama tidak lantas menghentikan estafeta jaringan ulama pilar inti yang
menghubungkan jaringan ulama abad 17 adalah al-kurnani. Dan murid-muridnya
kemudian melanjutkan mata rantai jaringan ulama mereka menjadi
penghubung-penghubung krusial dengan ulama abad ke 18. Beberapa nama besar dari
mereka di antaranya:
a. AL-Azami, jaringan yang ditempuh
oleh ulama ini adalah melalui jalur ilmu hadits.
b. Al-Barzanji, dia adalah ahli di
bidang fiqh, muhaddis dan syekh tarekat qadariyah.
c. Al-Nakhli, seorang ulama yang
dikenal selain sebagai guru juga banyak belajar dengan ulama-ulama hadits
sehingga an-nakhli adalah sebagai penghubung para guru dan murid melalui studi
haditsnya.
5. Jaringan ulama karakteristik
Diantara para ulama ini adalah terdapat karakteristik yaitu
adanya hubungan kompleks saling silang antara satu denagan yang lainnya. Hala
sangat elementer adalah mereka tercipta dalam kaitannya mencari llmu melalui
lembaga-lembaga pendidikan; masjid-masjid, ribath-ribath, madrasah-madrasah.
Hubungan lainnya adalah seumpama isnad hadits dan silsilah tarekat.
Bab tiga
tentang Pembaharuan Dalam Jaringan Ulama dan Penyebaran ke Dunia Islam Yang
Lebih Luas memaparkan adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari
terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan
masyarakat muslim dari mistik menuju pada
neo-sufisme. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang penyebaran
pembaharuan yang terjadi dalam jaringan tersebut, ke dunia Islam yang lebih
luas.
Yang mendasar dalam bab ini adalah Azra menyampaikan
perkembangan sufisme yaitu neo-sufisme yang dikaitkan dengan diskursus Islam
fundamental lainnya yaitu: hadits, syari’at, aktivessme, dan organisasi
tarekat.
Keterkaitannya dengan hadits, justru bahkan para pengkaji
hadits yang mengembangkan neo-sufisme. Melalui keterlibatan para muhaditsin ini
sufisme dikemas lebih kepada bagaimana menigkatkan keluhuran akhlaq dan
mempertinggi kesadaran spiritual. Dan sebaliknya penyebaran hadits-hadits
disampaikan melalui tarekat-tarekat yang berada disetiap organisasi sufisme.
Jadi tekanan yang paling dominan pada era ini adalah para ulama penelaah
hadits. Dan pandangan neo sufismenya adalah agar para sufi dalam menafsirkan
hadits adalah didasari denagn pengetahuan dan pemahaman yang dalam, memadai
tentang seluruh ajaran Islam. Mengkaitkan neo-sufisme dengan syari’at di
katakan bahwa dalam menjalankan sufisme tidak berati meninggalkan
prisif-prinsip syaria’at, agar mendasarinya dengan hukum-hukum syari’at
terutama dalam kaitannya menjalankan tugas kehidupan di dunia.
Terdapat pula penekanan dalam penggunaan akal dan ijtihad
sebagaimana yang diberlakukan ketika islam mengalami kejayaan dan masa
mutakallimin. Penekanan hal ini adalah ketika mengkaitkan neo-sufisme dengan
aktivisme. Memanfaatkan peran akal dan pengetahuan dalam koridor syariat.
Selanjutnya digambarkan bagaimana hubungan koneksitas jaringan ulama asia
afrika. Pada konteks ini factor saling silang terus bergulir sampai kepada hal
yang lebih kompleks. Hubungan jaringan ulama lebih luas dimana kebiasaan
singgah dari satu tempat ketempat lain akhirnya menjadi titik adanya jaringan
tersebut.
Pada bab ini Azra, justru tidak begitu gamblang menjelaskan
bentuk jaringan yang dibangun. Penjelasan yang ada justru kepada kemunculan
ulama terkemuka dan karya-karya mereka. Penguasaan terhadap suatu ilmu dan trac
recordnya. Namun demikian dengan tarekat-tarekat yang dibangun para ulama
disinyalir menjadi media pembangunan jaringan ulama. Ulama-ulama sufi ini
langsung tidak langsung berkaitan dengan koneksitas para ulama abad 18.
Misalnya tarekat Tijaniah yang disebut-sebut agen penyebaran Islam di wilayah
Afrika.
Bab empat (Besar para perintis gerakan pembaharuan Islam di Nusantara;
Ulama Melayu-Indonesia dalam jaringan abad 17) menjelaskan tentang ulama Nusantara
yang memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di Nusantara ini.
Disini juga dijelaskan secara mendalam, terperinci tentang biografi, pemikiran,
jaringan yang dilakukannya, peranan serta karya-karya dari beberapa ulama
Nusantara, seperti :Nur Al Din Al Raniri (W. 1068/1658), Abd Al
Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1692) dan Muhammad Yusuf Al
Makassari (91037-1111/1627-1699)
Catatan penting dimensi perubahan torehan al-raniri
adalah adanya kesalahan dalam praktek keagamaan (tarekat-red). Untuk melakukan
pembaharuan ini AL-raniri menuggu waktu dan kekuatan. Setelah kuat
dilancarkannlah pembaharuannya. Adapn yang diserangnya adalah pendapat
wujudiyah dengan doktrinnya mistiko-filosofis. Yang berkembang di Aceh dan
dipandang sesat.
Al-Singkili, dalam tataran politis membantu
membuat fatwa tidak diperbolehkannya wanita menjadi pemimpin. Dalam keagamaan
kendatipun sama dalam melancarkan pembaharuannya memberantas penyimpangan dalam
tarekat, lebih bersifat kompromiftif, dan tidak lekas mencap kafir suatu
kelompok dengan pandangan menyipang. Dalam persoalan sufisme Al-Singkili untuk
bias mendekatkan manusia dengan Tuhan maka perlunya meakukan dzikir.
Al-Maqasari, menurut pandangan Azra,
al-Singkili melakukan upaya mendamaikan hal esoteric dan eksoteris Islam. Dalam
hal ini ia mengatakan bahwa ketika seseorang ingin memasuki dunia sufi harus
melampaui syariat terlebih dahulu. Untuk ini Ia memberikan petunjuk jalan menuju
sufi. Dengan demikian al-singkili adalah seorang tokoh sufisme dan dengan jalan
sufi ini pula dia membangun jaringan ulama.
Di
bab lima, diketengahkan
jaringan para ulama dan pembaharuan Islam di wilayah-wilayah Indonesia abad 18.
Para ulama yang di kemukakan adalah Al-Palembangi, Al-Bantani dan Patani.
Neo-sufise pun turut dijelaskan berikut pengaruhnya.
Pikiran pokok
yang dapat saya sampaikan adalah seluruh ulama Melayu-Nusantara dalam
pembaharuannya tidak menyarankan pembaharuan doktrinal dasar Islam yang
dilakukan secara radikal. Adapun
tema tajdid yang dikembangkan adalah kembali kepada ortodoksi sunni, yaitu
kejelasan syariat dan tasawuf. Sumbangan utama dari para pembaharu ini adalah
penguatan jati diri Islam dalam masyarakat mereka. Dan sebagai wujudnya adalah
Islamisisai Nusantara.
Selain menjelaskan tentang jaringan ulama beserta langkah
pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama diwilayah Melayu-Indonesia, khusunya
pada abad ke-18. Bab ini dilanjutkan dengan kesimpulan, dalam akhir buku ini dikemukan
juga tentang rute perjalanan Al Raniri, rute perjalanan Al Maqassari, bibliografi serta indek nama.
Pada bagian
kesimpulan, secara umum
Azra telah mengukapkan bagaimana Islam bisa berkembang di seluruh timur-Tengah
dan Nusantara-Melayu. Dan faktor utamnaya adalah karena adanaya trasmisi para
ulama. Yang terbangun kuat sepanjang abad 17 dan 18. Koneksitas yang terjalin
di anatara para ulama adalah karena proses saling silang dan terus berestafet
dari satu guru keguru lainnya dan dari murid kemurid lainnya. Hal ini sangat
kontras ketika melaksanakan ibadah haji.
Dari sudut pandang ke Islaman, maka islam yang berkembang
sebenarnya lebih mengetengahkan Islam sufistis terlepas apakah sufisme awal
atau neo-sufisme yaitu islam yang berorientasi pada syariat.
Pada kenyataannya organisasi tarekat langsung tidak langsung
telah membentuk menjadi sarana jaringan ulama Nusantara. Namun demikian pada
perjalanannya dalam persoalan tasawuf ini tidak lepas dari
penyimpangan-penyimpangan. Dalam hal ini pembaharuan perlu dilakukan.
Pembaharuan yang dilakukan adakalanya dengan mengambil jalan kompromiftif
evolusioner tetapi tidak dapat dipungkiri terdapat pula yang mengambil bentuk
revolusione-radikalistis seperti tampak pada gerakan Wahhab Kallaf dengan furitanisme
Islamnya di Arab Saudi.
Kelebihan
penelitian Azra ini
adalah telah berhasil mengetengahkan
persoalan yang selama ini kurang begitu dilakukan dalam diskursus intelektual
Islam khususnya bagaimana transmisi ulama. Secara luas dan dalam buku ini dapat
dijadikan rujukan khususnya dalam mengkaji para ulama di dunia Islam dan jelas
tergambar system trasmisi dan penyebaran ulama yang berpusat dari dan di Timur
Tengah sampai penyebarannya ke seluru dunia (Nusantara).
Buku ini berhasil menjelaskan:
1.
Terbentuknya
jaringan keilmuan ulama Timur Tengah-Nusantara
2.
Sifat
dan karakteristik jaringan para ulama
3.
Peran
ulama Melayu-Nusantara
4.
Keilmuan
yang berkembang dan dipergunakan dalam membangun jaringan ulama
5.
Landasan
perkembangan Islam selanjutnya dimana terdapt landasan pembaharuan dalam Islam
khususnya dal;am persoalan tasawuf (neo-tasawuf)
Menurut kami, kekurangan buku Azra ini adalah pemetaan jaringan dan komposisi para
ulama yang tidak
terlihat secara sistemik bagaimana jaringan ulama itu dibangun. Tidak terdapat
suatu wadah secara khusus yang mengikat diantara para ulama. System yang tampak
adalah sebatas hubungan guru murid dan begitu seterusnya setelah para ulama
tersebut membuka halaqahnya masing-masing. Satu-stunya media yang mungkin ada
itupun karena disebabkan oleh penunaian ibadah haji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar